***
Keraguan untuk keluar kamar dan turun untuk sarapan kini terbesit di pikiranku. Bagaimana jika ayah dan bunda masih marah padaku. Apa aku akan didiamkan tanpa direspon kalau bertanya? Apa aku punya keberanian untuk berbicara? Jangan-jangan aku disuruh pindah sekolah ke tempat ayah mengajar.
"Wisya, sini, Bunda sudah buatkan kamu sarapan. Kamu senang nasi goreng dengan banyak sayur 'kan?" ajakan bunda dari pantri dapur membuat ketakutan itu luluh. Ayah yang sedang membaca koran menanggalkan korannya dan menatapku.
"Pipimu masih sakit?" sebagai balasan aku mengeleng. Ditanya begitu aku ingin menangis lagi, dasar cengeng.
"Maaf," aku menunduk, tidak mungkin aku memperlihatkan mata berkaca-kaca di depannya. Setetes air mata itu jatuh ke rok abu. Di balik rambutku yang kini pendek, tangis itu tidak sepenuhnya tersembunyikan.
"Rambut pendek membuat kamu tambah manis, salut ya Wisya terampil potong rambut sendiri." Entah bunda tulus memujiku atau hanya berbasa-basi. Selanjutnya dia duduk sambil menambahkan beberapa centong nasi goreng ke piringku.
"Sayang rambut kamu pendek. Kamu nangis jadi kelihatan." Ayah berdehem, sontak aku mengangkat kepala. Tangan itu mengusap pipiku pelan. "Maafkan kami selalu membandingkan kalian. Kami sadar kalian itu berbeda. Kalian punya keunikan dan kelebihan tersendiri."
Helaan napas yang ayah lanjutkan dengan meminum kopi masih membuatku menunggu. "Lily menghubungi bunda. Dan ayah serta bunda mengerti, beberapa hal terjadi kesalahan kami. Sikap kami selalu menuntut dan berharap kamu agar menjadi dirinya. Sekarang kami sadar, itu menyakiti kamu bukan?"
Lagi, air mata itu mengalir dengan sendirinya. Syaraf motorik untuk menahannya agar tidak mengalir mendadak tidak bekerja. Seperti sungai dengan bendungan yang jebol, debit aliran air itu malah makin dasyat dari yang seharusnya.
Mungkin aku menangis karena akhirnya ayah dan bunda sadar apa yang selama ini menjadi beban di kepalaku.
"Maafkan ayah, bunda, dan kakakmu ya, tapi janji jangan kecewakan kami lagi."
Sambil tersenyum haru dan sedikit terseguk menahan tangis aku menyuapkan sesendok nasi ke mulut. Aku mengangguk.
***
Karena merasa diperhatikan, aku menjadi semakin tidak tenang. Kedua tanganku mengepal, keringat dingin bercucuran bersamaan dengan debar jantung yang tidak ada hentinya berdebuman. Entah kenapa aku jadi tidak siap berjalan sendirian di keramaian. Aku takut mereka memfokuskan pandangan padaku yang sama sekali tidak enak dipandang.
Langkah demi langkahku bergetar. Detik demi detik terasa begitu panjang. Bahkan untuk sampai ke kelas, aku harus menghabiskan banyak tenaga agar kuat dipandang orang-orang.
Mereka pasti mempertanyakan rambut panjangku yang sekarang pendek dan tidak lagi menghalangi wajah, mengekspos seluruh bekas jerawat yang berbekas cokelat ataupun perlahan memudar. Atau mungkin, mereka ingin memperbincangkan mata sembabku lalu menduga-duga kekalahan olimpiade sebagai pokok utama penyebab bengkak itu.