***
Dua bulan berlalu sejak hari itu aku sudah jarang bertemu dengan Kak Baran. Memasuki akhir tahun ajaran, aku sibuk dengan tugas dan ujian yang dikejar deadline. Aku yakin mahasiswa fakultas teknik itu juga mengalami hal yang serupa.
Beberapa kali Abi menghampiriku, dia masih bersikap seperti biasanya. Namun sayang aku tidak terlalu merespon apa yang dia lakukan. Aku takut melakukan kesalahan yang sama dan malah mengecewakan ayah untuk kedua kalinya.
Berbicara soal Abi, film pendeknya berhasil menjadi juara utama di setiap tingkat seleksi dan menyabet juara favorit di tingkat nasional karena sinematografinya yang ciamik.
Lain halnya dengan Abi, pertandingan Sarah berakhir di olimpiade provinsi dan harus puas hanya juara dua dengan selisih poin yang tipis oleh anak kelas 10 dari salah satu sekolah favorit di kabupaten Bandung. Meskipun begitu, setidaknya hal itu membuktikan bahwa Sarah tidak sememalukan aku yang langsung terdepak di tingkat kota.
Kekalahanku ketika olimpiade bulan itu menjadi tamparan keras bagiku. Aku masih suka mempelajari fisika. Bahkan materi fluida yang dulu menyebalkan berubah menjadi materi yang cukup mudah untuk kupahami. Bab listrik dan relativitas yang umumnya akan kupelajari di kelas dua belas sudah aku kuasai.
Sama seperti relativitas, sebuah benda bergerak relatif terhadap titik acuan. Bagiku, aku sudah bergerak relatif terhadap hidup. Apa yang kupikir baik belum tentu begitu.
Pemikiran itu membuatku tiba-tiba terbesit posisi Kak Baran ketika membuatku kecewa. Apabila sudut pandang dia sebagai titik acuan, belum tentu dia melakukan kesalahan. Dia pasti memiliki alasan. "Terkadang, malaikat saja nampak seperti iblis bagi manusia yang tidak selamanya benar." Aku kembali teringat ucapannya waktu itu.
Aku mulai berpikir, akhir hubungan kami yang tidak baik sudah seharusnya diselesaikan secara baik-baik. Jika memang aku sudah tidak ingin berhubungan dengan hidupnya lagi, sudah sepatutnya aku pamit.
“Wisya, kemari!” Dari dekat papan mading, bu Desi melambaikan tangannya padaku.
“Iya Bu, ada apa?”
“Lihat, olimpiade fisika tingkat Nasional.” Telunjuknya mengarah pada papan mading. Aku membacanya beberapa saat.
Dari gerak-gerik Bu Desi, aku yakin beliau akan memintaku untuk ikut serta. Hanya saja, masa iya aku lomba nasional sedangkan di tingkat kota saja aku hanya juara lima?
“Ini kesempatan kamu, lombanya bulan Oktober, cukup lama. Karena kelompok, ibu sudah mengajak Faiz dan Intan untuk ikut serta.”
“Tapi Bu ... Wisya takut.”
“Kenapa harus takut? Ini berkelompok, di tingkat kota kemarin kalian bertiga ada di posisi empat, lima, dan enam, itu tidak buruk untuk memulai perjuangan lagi.” Tangan kanan Bu Desi meneput pundakku untuk menyalurkan kekuatan disana. Terasa begitu penuh kasih sayang.
“Setiap yang terjadi pada kita, sudah digariskan Tuhan, menang atau kalah. Kekalahan kamu di tingkat kota, bukan berarti kamu kalah sepenuhnya. Itu hanya belum waktunya. Bisa saja rezekimu disini. Kita hanya perlu berusaha. Lagian, nilai ulangan fisika kamu selalu sempurna akhir-akhir ini. Yang penting mencoba, ya?”
Bu Desi, guru yang tegas namun keibuan secara bersamaan. Bahkan aku tidak dapat menemukan cela untuk menyangkal atau melakukan penolakan atas apa yang beliau ucapkan.
“Intan dan Faiz sudah tahu Bu?”
“Iya, mereka sudah tahu, minggu ini juga ibu daftarkan. Kalian perlu pembimbing untuk bimbingan intensif? Biar nanti saya hubungi Baran untuk membantu, dia sendiri yang memberikan informasi ini dan menawarkan bantuan.”
Sesegera mungkin aku menggeleng. Tanpa perlu bimbingan intensif dari Kak Baran kurasa kami bisa melakukannya. Aku sudah bilang waktu itu bukan, bila mengerjakannya dengan Faiz dan Intan, beberapa soal terasa mudah dan malah menyenangkan. Maka aku yakin persiapan olimpiade kali ini tanpa harus ada campur tangan dari Kak Baran yang pernah membuatku kacau.