***
Minggu terakhir di bulan yang masih Oktober sekaligus minggu upacara terakhir bagi kelas dua belas. Tidak terasa, seingatku tragedi topi baru terjadi kemarin pagi. Namun ternyata setahun sudah berlalu dan aku sadar waktuku di sekolah ini tidak lama lagi.
"Sekarang, mari kita umumkan siswa yang berprestasi di bulan ini. Selamat kepada Wisya Qalbu Octania, Muhammad Faiz Al-Jauhar, dan Intania Dina yang berhasil menjadi juara dua di olimpiade fisika tingkat nasional yang diadakan di Universitas Gajah Mada!" Pengumuman itu sontak membuat semua orang tercengan, terutama tiga sahabatku yang semalam sudah berapi-api menguatkanku tentang tabah akan kekalahan.
Jelas, aku, Intan, Faiz, dan Bu Desi sepakat untuk merahasiakan keberhasilan ini agar menjadikannya kejutan. Dan benar saja, pengumuman di upacara kali ini berhasil membuat semua orang menganga tidak percaya.
"Sialan, jadi ini namanya kalah?" tanya Tania tidak terima.
"Kami memang kalah dari yang juara satu," balasku sambil cengengesan.
Sarah lebih menengahi sebelum Tania membalas ucapan ngelesku, "Udah, udah, sana Wisya ke depan," katanya sambil mendorong bahuku. Aku pun berlari dengan langkah kecil untuk berbaris bersama Intan dan Faiz. Bu Desi mengalungkan mendali dan memberikan hadiah pada kami bertiga. Piala setinggi setengah meter diserahkan Bu Desi kepada kepala sekolah sebagai simbolis kenang-kenangan dan motivasi. Aku menatap Intan dan Faiz bergantian setelah beberapa foto terabadikan. Kami nyaris menangis, padahal hari itu air mata kami tumpah ruah setelah satu soal penentu berhasil kami jawab di tengah nilai seri milik kami dan tim yang akhirnya mendapat juara ketiga. Sekarang, kami malah menangis lagi seakan air mata itu tidak ada habisnya.
"Sudah 'kan, remuknya terbayar?" canda Bu Desi yang tahu keluhan yang selalu kami ucapkan. Kami membalasnya dengan kekehan. Detik itu, aku tahu bagaimana rasanya menikmati bahagia yang merupakan buah dari perjuangan.
***