"Apa?! Baru sehari ngantor lo udah mo minta resign? Are you kidding me?!" sungut Ethan.
Ethan tadi menjemputku di kantor. Begitu melihat mukaku sekeruh air rendaman cucian seminggu, dia segera menyeretku ke kafe ini.
Seventh Avenue, kafe yang lagi nge-hits karena tempatnya yang Instagramable banget. Wajar sih, karena desain interiornya memang mewah. Ditambah lagi dominasi nuansa kayu dengan warna coklat tanah menjadikan kafe terlihat lebih natural. Jangan lupakan juga sofa empuk dan free wifi, yang membuat siapa pun betah berlama-lama nongkrong di tempat cozy ini.
"Rasanya gue enggak bakalan betah kerja di situ, deh," keluhku sambil menyeruput jus jeruk. Mataku nyalang menembus plafon yang terbuat dari kaca, menatap langit yang mulai menggelap.
Ethan mengaduk-aduk fruit punch-nya dengan sedotan.
"Emangnya diapain sih sama Si Bos, sampe lo segitu eneknya?"
Aku terdiam sesaat. Pelan-pelan mulai menceritakan pengalaman hari pertamaku di kantor itu. Mulai dari si bos yang menghina penampilanku hingga suara-suara aneh dari ruangan kantornya.
Ethan memang pendengar yang cukup baik. Terbukti, dia tidak menyela sedikit pun saat aku bercerita. Dia baru meledak tertawa ketika aku telah menyelesaikannya.
Kampret! Nggak tahu apa orang lagi amsyong gini. Malah diketawain!
"Dia cuma ngetes elo doang ‘kali!" Ethan menyeka sudut bibirnya yang masih menyisakan senyum lebar.
"Ngetes enggak perlu sampe uh-ah-uh-ah gitu juga kali!" semprotku.
Aku ingat betul bagaimana wajahku jadi merah padam setelah si bos keluar dari ruangannya tadi. Dia menanyakan kopinya dengan kemeja belum terkancing sempurna dan rambut yang masih awut-awutan. Belum lagi bekas lipstik yang masih menempel tipis di sekitar rahangnya. Mungkin belum sempat dihapus. Sementara di belakang si bos, cewek yang kemudian diperkenalkan sebagai tunangannya itu sibuk merapikan rok dan blusnya.
Setelah aku menyodorkan kopi, si bos malah marah-marah dan minta ganti dengan yang baru. Menurutnya, kopi itu sudah lewat dari batas enak! Edun!
Aku hanya bisa mengumpat saja dalam hati waktu itu, karena masih menyimpan kesal.
"Bukan salah gue dong kalo kopinya keburu dingin! Dia aja tuh yang ena-enanya kelamaan!" tandasku.
Apes banget deh rasanya. Seumur-umur aku kerja baru kali ini dapat bos yang begini banget mesumnya!
"Emangnya dia enggak bisa apa check-in di hotel aja kalo mau begituan? Atau seenggaknya, tunggu dulu kek sampai gue --bawahannya ini-- pulang?" amukku.
Ethan membiarkan aku meluapkan segala kemarahan di depannya.
Setelah aku tenang, dia mulai buka suara lagi.
"Trus, lo maunya gimana sekarang? Yakin mau resign? Katanya lo butuh duit banget buat bayarin hutang-hutang Nyokap lo?"
Aku membeku.
Kata-kata Ethan seperti seribu jarum yang menusuk-nusuk langsung ke jantung. Melunturkan semua amarah yang sedetik lalu seperti meledak-ledak begitu saja.
Ethan benar. Aku memang sedang butuh uang puluhan juta untuk menebus hutang-hutang mama. Ia telah ditipu temannya sendiri dengan investasi palsu berkedok arisan online. Sementara papa yang terkena stroke sejak setahun yang lalu, tentu saja tidak bisa banyak membantu. Praktis semua kebutuhan keluarga, termasuk uang kuliah Rima adikku, menjadi tanggung jawabku sebagai anak sulung.
Kenapa aku bisa lupa?
"Bertahan aja lah dulu. Di mana lagi lo bisa dapet gaji gede kayak gitu?" Ethan menasihati. "Mau di mana pun juga lo kerja, masalah pasti akan selalu ada, ya kan? Lo hanya harus terbisa menghadapinya. Bukan malah lari gitu aja. Alah bisa karena biasa. Betul?"
Aku menghela napas dalam-dalam sebelum memberi Ethan cibiran.
"Tumben otak lo lempeng, Ethan," selorohku, yang segera dibalas dengan mengacungkan jari tengahnya.