What's Wrong With You, Boss?

Nyonya Maneh
Chapter #5

Chapter 4 - The Story Begins

Sinar matahari menerobos masuk jendela kamar. Hangatnya menyeruak sampai ke tulang-tulang. Aku membuka mata dengan malas. Sembari membuka mulut lebar-lebar, kurentangkan ke dua tangan. Thank God! Akhirnya aku bisa tidur pulas juga setelah hari pertama yang panjang di kantor baru kemarin.

Aku duduk di ranjang, mengucek-ngucek mata sebentar. Sekilas, aku melirik jam yang menempel seperti cicak-cicak di dinding.

Oh, baru pukul tujuh lebih tiga puluh menit!

Aku memeluk guling dan mulai mengumpulkan nyawa, coba mengingat-ngingat dan mengurai setiap kejadian yang telah lewat.

Kemarin itu Jumat yang heboh di kantor baru, blah blah blah, terus aku pulang lanjut ke kafe dengan Ethan blah blah blah. Lanjut lagi ke departemen store Surya, blah blah blah....

Eh ngapain aku ke depstor Surya, ya?

Oh iya, beli rok dan kemeja baru untuk meeting dengan bos hari Sabtu....

Sabtu? 

Eh, kemarin Jumat, kan? 

Berarti hari ini ... Sabtu!? 

Aku melirik jam dinding sekali lagi.

Dan sekarang pukul tujuh lew....

"What??!" Mataku membeliak liar.

Seketika aku terlonjak dari tempat tidur. Segera menyambar handuk yang tergantung pasrah di handle pintu lemari.

Bagaimana mungkin aku tidak ingat kalau harus ke tempat bos hari ini juga untuk sama-sama ketemu klien!? Hhh!

Damn Marsha! 

Apa lagi terror yang akan diberikan Paduka Yang Mulia si Bos, kalau sampai aku telat tiba di sana?!

Secepat aku mandi, sekilat itu pula aku berganti baju. Kemeja baru berwarna pink fanta berenda tumpuk di bagian dada, dengan rok sedikit di atas lutut berwarna hitam dengan sabuk warna senada kukenakan. Setelan yang merupakan pilihan Ethan itu, tampak pas di tubuhku. Kuakui, selera Ethan lumayan juga. Dia juga bilang, pakai ini membuat aku terlihat ramping. Ya jelas aja, bobotku kan hanya 55 kilo dengan tinggi 164 cm. Wajar kalau terlihat langsing. Itu juga karena dia mungkin enggak tega mengataiku cungkring. 

Aku juga tidak peduli lagi setelan itu masih bau toko. Bagaimana tidak? Aku sampai di kosan saja sudah hampir barengan dengan orang yang keluar bioskop nonton midnight show. Mana sempat aku cuci?

Setelah memakai bedak dan make up tipis-tipis, lipstik warna senada dengan baju, dan semprot parfum sana-sini, aku memasangkan stiletto berhak lima senti berwarna hitam mengilat, di kakiku yang lurus bebas lemak itu. Menata sedikit rambut ikal yang kucat brunette dengan jari, lalu mematut diri sebentar di cermin.

Kurasa penampilanku sudah sempurna sekarang. Aku harus segera pergi kalau tidak mau terlambat dan dapat kata-kata mutiara lagi dari si bos.

Pukul 08.15.

Great! Terlambat lima belas menit dari rencanaku sendiri!

Tadi malam aku memang sudah mengecek lokasi apartemen pak Bryan. Lumayan jauh dari tempat kosku. Butuh waktu sekitar satu jam-an untuk sampai di sana dengan situasi jalan tidak macet sama sekali.

Bangun kesiangan saja sudah cukup membuatku stres, semoga tidak ditambah lagi dengan suasana jalan yang tidak bersahabat.

Belum sempat mengunci pintu, ponselku berdering.

Aduh, siapa sih? 

Kalau aku angkat, kemungkinan telat akan semakin besar. Tapi kalau tidak diangkat, takutnya penting. Bagaimana kalau si bos yang menelepon, mau bilang meetingnya batal dan aku nggak perlu datang?

"Ya, halo." Kuputuskan mengangkat telepon tanpa melihat lagi siapa yang menelepon.

Dengan satu tangan memegang gagang pintu, sementara tangan lain mengunci, ponsel terpaksa kukepit di antara bahu dan telinga.

"Kak Aca? Enggak pulang ke rumah? Kan Sabtu?"

Suara di seberang segera kukenali.

"Iya, Rim. Sorry, Kakak disuruh masuk, nih. Ada meeting dengan klien. Mungkin besok Kakak pulang, ya? Ada apa?"

"Kakak janji hari ini mau anter Mama ke psikiater, kan? Sejak kemarin Mama enggak mau makan. Ngamuk dan jerit-jeritan terus. Nggak mau keluar kamar ...."

Aku menepuk dahi. Lalu menggeram perlahan.

Sudah beberapa bulan sejak ditipu temannya, mama jadi stres berat. Dia merasa bersalah karena telah menghabiskan seluruh uang tabungan yang masih tersisa untuk bisnis enggak jelas itu. Padahal papa masih butuh biaya yang nggak sedikit untuk pengobatan strokenya.

"Ya ampun, Kakak lupa. Tapi habis dari meeting Kakak telepon kamu lagi, ya? Kakak benar-bener lagi buru-buru banget." Aku menghapus peluh yang mengalir membasahi pelipis.

Berjalan cepat dengan kostum dan sepatu menjengkelkan ini benar-benar menguras tenaga. Ditambah lagi cuaca pagi itu sudah mulai panas, dan aku harus jalan kaki untuk mencapai jalan raya dari tempat kos.

Setelah menutup telepon dari Rima, adikku, aku melirik arloji di pergelangan tangan.

Sudah pukul setengah sembilan!

Sekarang, makin tidak mungkin aku bisa mencapai apartemen pak boss hanya dalam waktu setengah jam! Meetingnya memang jam sepuluh. Tapi aku diminta mampir ke apartemen bos untuk berangkat bareng ke klien itu jam sembilan. Naik taksi, sudah bisa dipastikan butuh waktu tempuh lebih dari tiga puluh menit.

Aku memutar otak.

Menyesal kemarin telah menolak tawaran Ethan mengantarku ke apartemen bos pagi ini. Tapi penyesalan memang selalu datang belakangan, kan? Karena kalau di depan itu namanya down payment!

Terus, aku harus bagaimana sekarang? 

 *****

Setelah memotong jatah waktu lima menit lagi untuk mikir, akhirnya kuputuskan.

"Naik ojek online!" 

Sepertinya, inilah keputusan paling tepat saat ini. 

Naik motor tentu bakal lebih cepat sampai tujuan. Aku sudah pernah membuktikannya. Beberapa kali naik ojek, drivernya keren banget. Bisa ngepot-ngepot. Jago nikung-nikung. Persis kayak di Moto GP. Yang nggak keren cuma penampilanku setelahnya. 

Segera kupencet ponsel, memesan lewat aplikasi. Untung segera dapat tanggapan. Tapi sialnya, si mas-mas driver ojol ini malah bikin drama. Nge-chat yang bikin aku, bukan saja hampir kehilangan waktu, tapi kesabaran juga.

[Diantar ke apartemen Akasia ya, Mbak?]

Lihat selengkapnya