Aku memelototi Ethan yang hanya senyum-senyum saja.
"Ethan, are you kidding me?"
Tanpa banyak bicara, dia kemudian menyerahkan sebuah paper bag besar yang ditentengnya. Sejak keluar dari apartemen si bos, aku sudah melihatnya. Namun aku nggak iseng bertanya-tanya apa isi kotak kertas itu.
"Gue udah mempersiapkan semuanya. Jangan kuatir. Nih, ambil. Toilet di sebelah sana."
Aku menerima paper bag yang diserahkan Ethan dengan pandangan penuh teka-teki. Tapi Ethan tidak membiarkan aku berlama-lama dengan segala pertanyaan berkecamuk di kepala.
"Lo cuma perlu ganti baju aja kok," jelasnya enteng seraya terkekeh melihat kebingunganku.
Akhirnya aku mengikuti saja seperti yang diperintahkan Ethan. Aku mencari toilet yang katanya tidak jauh dari situ.
Toilet di siang ini tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa wanita yang keluar masuk. Syukur lah. Aku jadi tidak perlu mengantri.
Setelah keadaan toilet lebih sepi, aku mengeluarkan isi tas kertas itu. Ada sebuah plastik besar yang membungkus. Kutarik perlahan, dan mencurahkan semua isinya ke atas kabinet dekat wastafel.
Awalnya aku terkejut, tapi kemudian berganti senyum dan gelengan kepala. Betul-betul nggak menyangka Ethan bisa sedetil ini memikirkan semuanya.
Jadi di dalam paper bag tadi itu isinya, jaket semi kulit wanita berwarna hitam, celana panjang bahan stretch juga berwarna senada. Ditambah sepasang sepatu boot setinggi lutut pun warna hitam. Tak percaya, tapi semua benda ini tepat sesuai ukuranku.
Aku segera berganti rok dengan celana panjang, high heels dengan boots dan memakai jaket kulit hitam melapisi kemeja kerjaku.
Setelah memasukkan rok, sepatu dan tas ke dalam paper bag, aku melangkah mantap menuju motor besar Ethan.
Rasanya jauh lebih nyaman dengan penampilan begini ketimbang memakai rok ketat tadi. Aku jadi bisa melenggang bebas tanpa takut ada mata jahil yang mencuri pandang dan berfantasi menjijikkan di luar sana.
"What do ya think?"
Aku melebarkan tangan, tergelak kencang saat melihat Ethan melongo menatapku.
"You are so ... different!" ucapnya masih dengan mata melekat pada penampilanku. Cowok ini seperti baru saja melihatku dalam bentuk yang lain. Semacam peri atau malah dedemit barangkali?
"Woy, biasa aja kali. Itu mulut enggak usah pake mangap segede kandang gajah juga deh!" Aku menepuk bahunya.
"Gorgeous!" desisnya sambil geleng-geleng kepala dan ikut-ikutan tertawa.
"Kok lo bisa tahu ukuran gue?" tanyaku penasaran.
"Jangan pura-pura lupa, deh. Kemarin gue yang anterin lo nyari kemeja, rok dan sepatu, kan?" Ethan menepuk dadanya sendiri.
Aku mengangguk maklum. Benar juga. Kemarin Ethan sudah seperti ajudanku saja. Kemana-mana ikut. Dia bahkan membantu memilihkan kemeja, rok bahkan sepatu yang aku beli. Ethan memang seperhatian itu. Aku saja baru menyadarinya beberapa hari ini. Padahal dulu, waktu di kantor lama, kami tidak pernah sedekat ini.
"Yuk, naik!" serunya seraya mengambil alih paper bag yang kupegang.
Ethan kemudian memindahkan isi di dalam paper bag ke dalam ransel besar yang diletakkan di depan dadanya.
Aku ragu untuk naik karena jok belakang motor besar ini kelihatan tinggi sekali. Melihat itu, Ethan memiringkan sedikit motornya hingga aku bisa duduk di atas jok penumpang.
Terus terang, kalau tidak terpaksa, aku lebih baik naik kendaraan umum saja daripada harus naik tunggangan Ethan yang satu ini.