Saat membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah gusar Ethan. Mata coklatnya yang sedikit sipit tapi punya sorot teduh itu menatapku lekat. Bibir tipisnya mengatup rapat. Napasnya yang hangat membelai wajahku.
Aku berupaya memundurkan wajah, tapi rupanya kepalaku sudah mentok ke dinding.
Secepat kesadaranku kembali pulih, secepat itu pula kudorong bahu lebar Ethan. Memberi jarak wajah cukup jauh dari wajahku.
"Ap-apa ... gue kenapa?" Aku memegangi kepala yang masih terasa berputar.
Kurampas minyak angin aromaterapi dari tangan Ethan dan menciuminya dengan kasar setelah lebih dulu mengoleskannya pada kedua pelipisku.
"Waktu gue panggil lo nggak nyahut, gue masuk aja. Ternyata lo udah jatuh di lantai," terang Ethan tanpa kuminta.
"Lo pingsan lima belas menit tadi," tuturnya lagi.
Aku mencoba mengembalikan semua ingatan. Menguraikan kejadian mulai dari saat aku tiba dan masuk ke rumah ini, hingga apa yang membuatku tergeletak di lantai.
"Papa!" Lalu aku mengingat semuanya. "Kita ke Rumah Sakit Harapan Bersama, Than!"
Susah payah aku berusaha bangkit, tapi rupanya mataku masih berkunang-kunang. Dengan sigap Ethan menangkap tubuhku yang hampir terjatuh lagi saat mencoba bangun.
Aku merutuk kesal.
Lagi-lagi kebiasaan pingsan tidak pada tempatnya ini muncul di saat yang tidak tepat. Aku tidak sedang kelaparan saat ini. Kurasa makanku juga cukup banyak saat di apartemen si bos tadi. Terus kenapa bisa pingsan? Apa karena aku terlalu stres, cemas memikirkan keadaan Papa?
Ah, iya Papa!
"Ethan, please anterin gue ke rumah sakit. Gue mau ketemu bokap," ucapku lirih.
Ethan mengangguk.
"Tapi lo ... apa bisa naik motor dengan keadaan begini?" Ethan sepertinya mulai ragu.
"Terpaksa." Aku menarik napas panjang.
"Tapi janji, lo harus pegangan yang bener! Jangan sampai pingsan lagi di jalan!" pintanya serius. "Kalau perlu, peluk yang kenceng. Biar enggak jatuh!"
Aku tersenyum masam. Malas menanggapinya. Masih terasa agak lemas untuk adu argumen dengan Ethan. Biarin deh kalau dimodusin juga. Tapi kelihatannya sih Ethan nggak punya maksud jelek. Yang penting tetap jaga jarak aman saja.
Jauh di dalam hati sebenarnya aku bersyukur banget Ethan ada di sini. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi denganku. Beruntung juga aku bisa ikut nebeng dengan motornya --well lebih tepatnya nodong sih-- ke rumah sakit bisa jadi lebih cepat. Semoga saja Papa tidak kenapa-kenapa.
Aku sangat menguatirkan keadaan Papa. Sudah setahun ini beliau terkena stroke. Tapi baru beberapa bulan belakangan, kondisinya semakin memburuk. Papa tidak lagi bisa ke mana-mana. Hanya berbaring di tempat tidur saja. Segala aktivitasnya dilakukan di atas kasur. Tubuhnya pun semakin lama semakin kurus karena selera makannya tentu saja turun drastis. Sudah dua kali pula Papa dibawa ke rumah sakit karena tiba-tiba terkena serangan. Tapi pesan singkat Rima barusan membuatku sangat ketakutan.
*****
Rumah Sakit Harapan Bersama yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah mama itu kelihatan lebih menakutkan dari biasanya. Bukan karena gedung-gedung putihnya yang menjulang. Bukan juga karena para dokter dan perawat berpakaian serba putih yang sibuk hilir mudik di koridor rumah sakit. Atau keluarga pasien yang harap-harap cemas akan kesembuhan orang-orang yang mereka antarkan ke sana.
Aku kuatir sesuatu yang buruk terjadi pada papa.