Menjadi asisten pribadi atau lebih kerennya personal assistant, sama sekali tidak ada dalam dream list-ku. Apa boleh buat. Setelah semua lamaran pekerjaan yang kulayangkan berakhir dengan jawaban Maaf, lamaran Anda kami tolak, maka fix! Hanya ini pekerjaan tersisa yang mau nggak mau harus aku ambil. Walau sejujurnya, aku enggak begitu paham apa yang harus aku lakukan. Tapi, the show must go on! Hidup harus terus berjalan. Sebagai tulang punggung keluarga, aku tidak punya banyak pilihan. Apalagi untuk lari dari kenyataan. Seorang bijak pernah berkata, Don’t look back, live your life and be happy, you will ready for tomorrow!
So, here I am now.
"MARSHA JULIA."
Si bos yang semula kubayangkan berkepala botak, dengan perut buncit dan kaca mata tebal berkumis lebat –-seperti yang diinfokan sebelumnya kepadaku— berjalan mengitariku. Dia yang bahkan jauh lebih tampan dari artis sinetron FTV mana pun, mengamatiku dengan saksama. Mata elangnya seperti sedang memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak berkedip. Membuat perutku seketika mulas. Belum lagi bibirnya yang tipis dan terlihat seksi itu menyeringai. Dia berdecak.
"Saya bisa dipanggil Mars aja, Pak." Aku mundur selangkah. Mendadak risih dengan perlakuannya.
"Mars? Hm. Panggilan bagus," ucapnya, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana panjangnya.
Kini ia memajukan hidung tujuh sentinya –yang bisa buat jahit baju saking lancipnya— mengendusi tubuhku.
Oh, great! Now what?
Apa tadi pagi aku lupa pakai deodoran? Atau lupa gosok gigi? Euw!
"Kenapa kamu ... tidak wangi?" Ucapan pria yang wajahnya 11-12 dengan artis Turki Birkan Sokullu itu, membuatku terperangah.
"Hah?"
Apa tadi dia bilang?
"Sebagai orang yang harus selalu berada dekat dengan saya, kamu itu seharusnya... kissable … eum maksud saya, wangi ...."
Gubrak!
Astaga, Pak! Aku tadi emang baru habis nguras empang tetangga, sih. Makanya nggak wangi-wangi amat. Tapi kissable? Apa itu maksudnya?
"Terus ini. Apa ini?"
Tubuhnya yang tegap dan buat cewek normal memang bisa bikin air liur menetes, tak berhenti memutariku.
Kamu itu bos apa odong-odong sih, Pak? Kok muter-muter aja?
Kepalaku mulai pening.
"Kamu ngelamar kerja jadi PERSONAL ASSISTANT saya, kan? Kamu bukan mau pergi pengajian?"
Kata-katanya benar-benar membuat mataku terbelalak.
Terlebih saat dia mulai menarik-narik lengan kemeja panjangku. Lalu rok denim model A-line sedikit di atas mata kaki itu, dia kibar-kibarkan dengan ujung jari telunjuk dan tengah yang saling mengapit.
Omaigat!
Oke. Aku salah. Tadi aku memang buru-buru banget. Jadi enggak sempat lagi milih-milih baju. Tapi, apakah melempar kepala orang ini dengan printer dot matrix besar itu dosa?
Napasku rasanya mulai nyangkut di tenggorokan. Apalagi ketika laki-laki paling ganteng sedunia itu bilang, "Mulai besok, kamu pakai baju yang worthed untuk gaji mahal yang akan saya keluarkan untuk bayar kamu. Minimal, pakai lah rok mini. Jangan daster begini!"