Tajamnya jarum suntik menembus kulitku tanpa ba bi bu. Seperti punya dendam kesumat terhadapku, dokter masih terus saja menambah beberapa suntikan di bagian punggungku. Mungilnya tubuhku membuat jarum seakan tak hanya menembus kulit dan daging tapi juga langsung menuju sum-sum tulang belakangku. Bukan hanya sakit karena tajamnya jarum yang kurasakan tapi juga karena posisi tubuhku yang diharuskan berbaring miring ke satu sisi sambil menekukkan kaki. Perutku yang membesar harus menahan tekanan dari lututku yang tertekuk sementara rasa sakit karena kontraksi juga tak mau berhenti. Sakit ini makin menjadi – jadi.
Kelebatan masa lalu tiba – tiba membayang dalam ingatan. Seperti sebuah layar film yang memutar adegan – adegan dalam hidupku. Semua dosa yang pernah kulakukan ditampilkan satu per satu di hadapanku. Begitu banyak kesalahan yang pernah kubuat dan kini hanya bisa kulihat dengan penyesalan tanpa tahu apakah ada waktu bagiku untuk melakukan perbaikan. Kilasan demi kilasan dosa semakin menambah kelu keadaan. Semakin cepat ia memutar semakin bertambah pula sakit kurasakan.
Ada sebuah teori yang mengatakan bahwa orang yang hampir meninggal sebelum nafas terakhirnya akan diperlihatkan semua perbuatan dosa mereka di masa lalu. Aku sendiri tidak tahu apakah ini tandanya nyawaku akan berakhir di meja operasi ini, tapi seperti harapan semua orang yang akan meninggal saat mereka diperlihatkan semua dosa mereka, aku harap aku masih bisa hidup untuk memperbaiki semua kesalahan. Terutama kepada kedua orang tuaku. Dulu aku tahu bahwa seorang anak harus berbakti kepada kedua orang tuanya terutama ibunya. Aku tahu bahwa surga ada di telapak kaki seorang ibu. Tapi kini di meja operasi ini aku baru benar-benar memahami mengapa Allah memerintahkan semua itu. Perjuangan dan rasa sakit yang dialami ibu saat melahirkan begitu besar dan tak bisa dilukiskan dengan kata – kata sehebat apa pun! Pokoknya benar – benar sakit! Benar ternyata antara mengetahui dan memahami sungguh jauh berbeda. Jika sudah mengalami sendiri baru kita akan memahami.
Bertubi-tubi rasa sakit harus kunikmati dalam waktu bersamaan membuat air mataku tiba-tiba mengalir tanpa terkendali. Semakin aku ingat perjuangan orang tuaku dan betapa durhakanya aku pada mereka semakin deraslah air mata ini mengalir. Aku teringat bagaimana aku sering melawan perintah mereka, seringnya aku bernada tinggi ketika berbicara pada mereka dan semua rasa kecewa yang mereka rasakan karena ulahku silih berganti memenuhi ingatanku. Kini aku seperti anak kecil yang habis dimarahi oleh ibunya. Hanya bisa menangis sesenggukan sambil menyeka ingus serta air mata.
“Jangan menangis, tahan rasa sakitnya”. Kata salah satu dokter padaku. Sungguh malu rasanya menangis seperti ini di hadapan dokter serta para asistennya. Tapi itu pun tak membuat tangisku mereda. Aku hanya menyeka kembali air mata untuk kemudian mengeluarkannya lagi. Dokter pun seolah tak peduli dengan rasa sakitku karena ia masih juga terus menyuntik punggungku untuk kesekian kalinya. Baru rasanya setelah ia puas menyuntikku ia menyuruhku untuk kembali ke posisi terlentang. Kemudian salah seorang dari asisten dokter memegang tanganku dan memosisikannya ke samping kepalaku. Tepat saat ia meletakkan tanganku tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
Di usia kehamilan yang sudah menginjak 38 minggu harusnya aku sudah mengambil cuti kehamilan, tapi di sekolah ini kata ‘cuti hamil’ sepertinya tidak ada dalam kamus guru-guru yang sedang hamil. Selama si jabang bayi belum ada tanda-tanda mau keluar mereka akan tetap mengajar. Jadi pemandangan ibu-ibu hamil besar dengan wajah kelelahan sambil jalan kesana kemari sudah menjadi pemandangan biasa. Bulan lalu salah satu guru yang usia kehamilannya selisih satu bulan dariku tiba-tiba tidak masuk sekolah. Setelah dihubungi guru tersebut memberi kabar bahwa ia tidak masuk sekolah karena sudah bukaan 6! Sehingga mau tidak mau ia harus segera masuk ruang bersalin padahal kemarin dia masih mengajar bahkan surat cuti saja belum ia buat.
Sekolah kami bukannya tidak memberikan ijin cuti. Seperti kebanyakan instansi lainnya, di sekolah kami pun memberikan cuti melahirkan selama 3 bulan. Tapi jika di tempat lain biasanya ibu-ibu hamil sudah mengambil cuti sebulan sebelum ia melahirkan maka di tempat kami berbeda. Seperti yang kukatakan tadi ibu-ibu di sini mengambil cuti bila mereka sudah merasakan kontraksi atau benar-benar mau melahirkan. Bahkan paling cepat seminggu sebelum dari hari perkiraan lahir bayinya. Mereka tetap mengajar supaya ada aktivitas sambil menunggu lahirnya anak mereka daripada mereka bosan di rumah karena tidak mengerjakan apa-apa. Karena hari – hari menunggu lahirnya si kecil dalam perut bisa menjadi penantian yang begitu panjang. Begitu pun yang kurasakan. Memasuki usia 38 minggu belum ada tanda-tanda bahwa si kecil siap untuk lahir. Aku bahkan hanya mengalami kontraksi palsu beberapa kali saja meskipun ketika diperiksa posisi bayi sudah masuk ke dalam panggul.
Orang – orang yang kutemui selalu bertanya “kapan lahiran?, kapan lahiran?” terus begitu sampai membuatku stress sendiri dan juga bertanya – tanya kepada diriku kenapa anak ini tidak lahir-lahir. Kalau sudah begitu ku jawab saja dengan senyum dan jawaban singkat, “doakan saja biar cepet”. Sebenarnya aku tahu mereka yang bertanya hanya berbasa – basi saja dibanding dengan benar – benar peduli. Tapi tetap saja itu juga mengganggu psikisku. Apalagi ibu hamil kan perasaannya lebih sensitif, disenggol sedikit saja bisa ngebacok apalagi terus ditanya seperti itu. Andai aku bisa, aku juga ingin melahirkan dengan cepat tanpa masalah bahkan kalau bisa tanpa bantuan dokter seperti kucing (tau-tau si anak keluar begitu saja dari dalam perut). Tapi kan aku bukan kucing yang seenaknya bisa melahirkan tanpa bantuan dan tanpa biaya pula. Jadi lebih baik daripada menanyakan pertanyaan unfaedah seperti ‘kapan lahiran?” ada baiknya pertanyaannya sekali – kali diganti menjadi “perlu apa lagi untuk persiapan lahiran?” atau sekalian tawarkanlah “perlu tambahan biaya berapa lagi buat lahiran? Sini saya bantu!”. Nah, itu baru pertanyaan yang lebih berfaedah!