“Saya jamin, tak mudah melupakan buku ini begitu Anda menyelesaikannya .... Pengaruh luar biasa buku ini sebagian datang dari fakta nyata bahwa penulisnya adalah seorang polimatik. Sedang sebagian lainnya datang dari caranya bercerita tentang apa yang terjadi padanya—dengan penuh semangat, bekerja dan berjuang, menolak kemudahan, menanti untuk hidup, dan belajar untuk mati—dengan begitu baik. Tak satu pun di antaranya yang cengeng. Tak ada yang dilebih-lebihkan. Seperti tulisannya kepada seorang teman, ‘Ini cukup tragis dan cukup bisa dibayangkan.’ Serta cukup penting untuk bisa dilewatkan begitu saja.”—Janet Maslin, The New York Times
“Memoar Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, yang ditulis saat ia menghadapi diagnosis kanker mematikan, benar-benar menyentuh. Namun, buku ini merupakan investasi emosional yang tak sia-sia: memoar yang mendalam dan menggugah tentang keluarga, kedokteran, dan sastra. Secara tak terduga buku ini sangat inspiratif meski berlatar menyedihkan.” —The Washington Post
“Memoar anumerta Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air, memiliki daya tarik dan kebijakan tragedi kuno Yunani ... [Kalanithi] menyampaikan kisahnya dalam sebuah prosa lugas yang indah. Buku ini penuh dengan refleksi sarat makna sekaligus sangat pedih mengenai kematian, yang lahir dari seorang dokter terlatih yang familier dengan apa yang ada di depan sana .... Narasinya begitu meyakinkan dan kuat hingga Anda akan berharap dia bisa selamat dari kematiannya dan menceritakan bagaimana keluarga dan teman-temannya selepas kepergiannya.” —The Boston Globe
“Memilukan sekaligus spektakuler ... [Kalanithi] begitu menyenangkan, dekat, dan rendah hati sehingga Anda akan tersedot ke dalam dunianya dan lupa ke mana kisah ini menuju.”—USA Today
“Pendekatan [Kalanithi] yang tidak sentimental itulah yang membuat When Breath Becomes Air sangat orisinal—sekaligus memilukan .... Satu-satunya kelemahan buku ini, sebagaimana hidup penulisnya, adalah berakhir terlalu cepat.” —Entertainment Weekly