Adlet membenamkan wajah'nya di atas tas ransel yang ia letakkan di atas meja. Sejak pagi, ia memilih untuk mengindari Aslan. Adlet merasa sangat kecewa dengan ucapan Aslan pagi ini. Adlet memejamkan matanya, sambil berpikir. Ia cukup sadar diri karena bertingkah manja dan kekanak-kanakan, namun setiap kali amarahnya mereda dan ia kembali teringat kejadian tadi pagi, rasanya niat untuk mengajak Aslan berbicara jadi menghilang, Adlet merasa sangat lucu dengan dirinya sendiri.
“Kreeettt…” kursi di sebelah Adlet bergeser, aroma parfum yang sangat familiar mulai tercium.
“Ini perpustakaan, bukan tempat tidur !” Aslan duduk sambil mengoceh, ia tahu Adlet tidak tidur.
“Apa ? sejak kapan kau ?”
“Kau pasti sudah sadar dari awal, jangan bertingkah seolah-olah kau terkejut karena aku ada disini, dasar pembohong !”
“Sialan, kau ini mau mati ya, hah ?” ucap Adlet sembari mencengkram baju Aslan, Aslan hanya menatapnya tanpa ekspresi.
“Pukul saja aku, ayo pukul !” Aslan menggerakkan kepalanya kedepan, berusaha memancing Adlet hingga amarahnya memuncak dan dalam hitungan menit, hatinya akan kembali tenang, sungguh emosi yang sangat labil.
Adlet menatap mata Aslan, ia menahan emosinya. Adlet bingung, ia tidak tahu mengapa ia bisa semarah ini hanya karena merasa dirinya tidak mendapat pembelaan seperti yang ia harapkan. Bukankah, seorang laki-laki tidak butuh pembelaan ? namun kenyataan'nya seorang lelaki tetaplah membutuhkan sahabat yang setia dan pendengar yang baik.
“Hei, kalian berdua jangan berisik, ini perpustakaan bukan tempat karaoke !” seru seorang wanita paruh baya yang menjaga perpustakaan.
Semua orang yang awalnya sibuk dengan kegiatan masing-masing, terpaksa harus menghentikan kegiatan mereka untuk menonton pertengkaran kedua sahabat yang sudah sangat terkenal di kampus ini, terutama para dosen dan mahasiswa teknik mesin. Aslan dan Adlet salah tingkah dan mereka terpaksa menghentikan keributan yang sudah mereka lakukan.
“Kau ini kenapa tidak masuk jurusan bisnis atau ekonomi saja seperti Ayahmu ?” tanya Aslan mencoba membuka percakapan agar yang lain tidak menghiraukan mereka, itu cara yang ia lakukan agar suasana kembali seperti semula.
“Tidak, aku lebih suka menjadi mahasiswa teknik dari pada mahasiswa ekonomi" jawab'nya asal, Adlet terus memperhatikan gerak gerik orang-orang di sekitarnya dan berharap mereka berhenti memperhatikan.
“Bukan karena kau ingin satu jurusan denganku ?”
“Apa ?”
“Hahaha…bercanda, kau ini mudah sekali terpancing ya ?” ucap Aslan sambil menahan tawa, ia merasa perutnya seperti dikelitik dan itu sangat menggelikkan. Ia tidak menyangka Adlet akan selucu ini.
“Berhenti mengolokku, dasar bodoh !”
“Hahaha…aku balas kau sekarang karena sering mentertawakan aku selama ini !”