Memasangkan dua orang yang memiliki sifat yang bertolak belakang tidak mungkin bisa dilakukan dengan mudah, dan tidak mungkin juga dilakukan dengan cara biasa.
Itulah yang sedang Anandia Setiani pikirkan karena baru saja dipasangkan dengan Ilham Ibrahim saat mau melakukan uji nyali.
Uji nyali yang dilakukan oleh beberapa anggota murid sekelas, pengundian menentukan pasangan dilakukan secara acak. Benar-benar sangat acak sampai membuat Ana yang tomboy bisa dipasangkan dengan Ilham yang alim.
Bangunan sekolah tiga lantai yang kini menjadi tempat melakukan uji nyali sudah mulai menunjukkan suasana horor saat jam menunjukkan angka tujuh malam. Padahal saat pagi dan siang hari selalu ramai oleh siswa-siswi yang berlalu lalang di koridor atau membuat semacam keributan di kelas. Ana baru tahu tempatnya bersekolah bisa memberi kesan yang sangat berbeda ketika sudah malam begini.
"Oke, jadi masuknya bergilir setiap satu menit sekali ya! Kalian harus memutari sekolah dari lantai satu sampai lantai tiga. Dan uji nyalinya dinyatakan selesai setelah semua kembali berkumpul di parkiran sekolah."
Mendengar instruksi dari Reno yang bertindak sebagai pemimpin karena dia lah pencetus ide, Ana berhenti memperhatikan suasana dan mulai fokus dengan apa yang mau dilakukan.
Tidak ada yang salah dengan rute uji nyali yang sepertinya dibuat secara mendadak, yang Ana permasalahkan adalah pasangan uji nyalinya.
Meski harus Ana akui dia memang tipikal cewek tomboy yang mudah dekat dengan lawan jenis, tapi sampai detik ini dia tidak pernah sekalipun mengobrol dengan Ilham.
Cowok itu menunjukkan sifat alim yang terkadang sampai berlebihan. Ana yang menyadari sifat itu mencoba menghargai dengan tidak memperlakukan Ilham sama seperti cowok lainnya.
Selama satu tahun mereka menjadi teman sekelas, Ana berhasil tidak melakukan interaksi apapun dengan Ilham, tapi semua berakhir hari ini.
Sungguh Ana sangat tidak tahu bagaimana cara menghadapi cowok alim. Berdiri bersampingan dengan jarak kurang dari tiga puluh centi saja sudah terasa sangat salah.
"Apa lo takut, An?"
Karena tiba-tiba diajak bicara, Ana terlonjak kaget. Bagaimana tidak kaget coba jika cowok yang selama ini cukup pendiam pada kaum hawa mendadak mengajak bicara terlebih dulu?
"Nggak juga. Gue justru cukup suka suasana kayak gini, rasanya menantang," meski merasa bingung, Ana tetap mencoba menjawab dengan jujur.
Sebuah senyum terukir di wajah Ilham, "Lo benar, ini pasti bakal menyenangkan."
Secara refleks Ana ikut tersenyum, lega ternyata pasangan uji nyalinya mau mengajak bicara dan menghilangkan suasana awkward yang sempat terjadi di antara mereka.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya giliran Ana pun tiba. Ilham yang berinisiatif menerangi jalan langsung menyalakan fungsi senter di ponselnya, "Ayo!"
Dengan perlahan, Ana menaiki anak tangga mengikuti langkah Ilham dari belakang sampai mereka berada di lantai dua.
Satu per satu ruang kelas kosong dilewati begitu saja tanpa adanya topik obrolan yang dilakukan. Ilham bukan tipe yang mau mengobrol basa-basi pada perempuan. Ana yang mengetahui sifat itu jadi tidak tahu bagaimana caranya memulai topik pembicaraan lagi.
Sambil mencoba mencari bahan obrolan, diam-diam Ana memperhatikan wajah Ilham. Ada pancaran tak biasa di mata cowok ini, "Ilham sangat suka melakukan aksi uji nyali ya?"
Ilham balik menatap Ana dengan ekspresi keheranan, "Apa gue terlihat menikmatinya?"
Ana mengangguk. Ilham mungkin sedang tidak menunjukkan senyum senang, tapi matanya merefleksikan semacam antusiasme.
Ilham kembali mengarahkan pandangan ke depan, "Gue suka menikmati situasi menantang yang menguji keberanian begini. Kalau Ana?"
"Lumayan suka juga."
Dan pembicaraan terhenti. Tidak ada tanggapan lagi yang Ilham berikan, dan tidak ada topik lagi yang bisa membuat Ana memulai obrolan.
Setelah berjalan cukup lama dalam diam, Ana menarik kemeja putih yang dipakai Ilham, memberi isyarat agar cowok ini mau sedikit memperlambat langkahnya karena dia mulai merasa lelah.
Walau kemejanya yang tidak dikancing tertarik sampai kaus hitamnya mulai terlihat dengan jelas, Ilham tidak protes, dia cukup peka dan mulai memelankan langkahnya sampai berjalan sejajar dengan Ana.