Hanya gara-gara Ilham menegurnya ketika baru sampai sekolah, Ana sudah merasa harinya berjalan dengan cukup aneh. Tapi ternyata hal yang tidak biasa masih bisa terjadi lagi pada hari yang sama.
"Biar gue aja yang hapus papan tulisnya."
Mendapati penghapus papan tulis diambil secara paksa dari tangannya, Ana menatap sang pelaku dengan raut terganggu dan langsung terganti dengan raut keheranan.
Kenapa Ilham membantunya? Cowok ini kan bukan gantleman yang bisa menolong perempuan dengan alasan remeh. Memang Ana sempat kesulitan menghapus papan tulis di bagian yang paling tinggi, tapi dia masih bisa mengakalinya dengan menarik salah satu kursi yang ada di dalam kelas untuk dijadikan pijakan.
Mendapat bantuan dari seseorang yang sangat tidak terduga jelas membuat heran. Bahkan saking merasa bingung, Ana sampai tidak beranjak dari posisinya yang sedang berdiri di depan papan tulis.
"Jika lagi butuh bantuan, lo harus mau minta tolong, An."
Rasa heran Ana terganti menjadi rasa terganggu lagi. Ilham pasti membahas mengenai uji nyali kemarin saat dirinya memilih menarik kemeja dibanding minta tolong agar Ilham mau sedikit memperlambat tempo ketika sedang berjalan bersamanya.
Ana tahu, sadar, dan sulit merubah kebiasaannya yang tidak mau merepotkan orang lain, terutama jika hal yang dilakukan masih bisa dikerjakan sendiri.
Beberapa teman dekat Ana memang cukup sering mengajukan protes dengan kebiasaan itu, tetapi Ana menolak mendapat kalimat protes dari orang yang paling sulit dimintai pertolongan oleh perempuan, "Lo aja nyentuh cewek nggak mau, gue nggak enak mau minta tolong."
Ilham menatap wajah Ana, meski sedang disindir, tak terlihat ada ekspresi kesal yang ditunjukkan, "Kalau cuma minta tolong, gue masih bisa tolongin selama dapat melakukannya."
Ekspresi wajah Ana semakin cemberut. Walau bisa meminta pertolongan pada orang lain, mana mungkin dia mau minta dibantu melakukan hal remeh, "Baiklah, lain kali jika gue minta tolong, lo harus mau bantuin."
Tanpa tahu spesifikasi bantuan jenis apa yang Ana maksud, Ilham mengangguk sambil tersenyum, "Tentu, Ana nggak perlu sungkan."
Kenapa langsung setuju begitu saja? Padahal Ana tidak bicara dengan serius. Tidak mau ambil pusing lagi, Ana memutus kontak mata dengan Ilham kemudian berjalan menuju bangkunya, "Nadia, pulang bareng yuk! Gue udah selesai nih piketnya."
Nadia yang tadi terlihat seperti terbengong langsung tersontak kaget, "Eh, udah ya? Tunggu sebentar."
Ana mengambil ranselnya kemudian menunggu Nadia yang terburu-buru merapikan barang yang belum dimasukkan ke ransel. Setelah selesai, mereka berdua berjalan keluar dari kelas.
Tapi sebelum melangkah terlalu jauh, Ana berjalan mundur untuk kembali melihat ke dalam kelas, "Duluan ya, Il!"
Ilham yang ingin mengambil ranselnya menengok ke arah pintu kelas, tersenyum, kemudian melambaikan tangan kanannya, "Iya, sampai ketemu besok."
Ana menggaruk pipinya dengan bingung sambil meneruskan niatan pulang yang sempat tertunda.
Ilham ternyata bisa sangat bersahabat seperti ini ya? Tidak disangka. Image susah didekati perempuan yang selama ini melekat pada Ilham seperti berita bohong saja.