“Pagi, sayang.”
Mata Ana terasa berkedut saat baru sampai sekolah sudah disambut dan mendapat sapaan yang terdengar menyebalkan dari Arka, “Apaan sih lo?”
Arka yang baru memarkirkan motornya di parkiran justru tersenyum mendengar respon Ana, “Kok berangkatnya sendirian sih? Di mana cowok lo?”
“Cowok yang mana?”
“Siapa lagi emang kalau bukan si cowok teralim di sekolah.”
Bingung, Ana tidak mengerti kenapa Arka menanyakan Ilham seolah cowok alim itu sudah menjadi pacarnya. Memang baru-baru ini Ilham bersikap seolah sedang melakukan pendekatan pada perempuan yang disukainya sampai membuat banyak orang salah paham, tapi mereka tidak berpacaran.
Ana tidak mau besar kepala dengan menganggap semua perlakuan Ilham sebagai sesuatu yang istimewa. Mungkin saja kan Ilham memang selalu bersikap begitu pada perempuan yang telah akrab dengannya?
Lagian Ana sangat tahu diri jika cewek tomboy sepertinya mana mungkin bisa membuat cowok alim seperti Ilham tertarik. Jika ingin memiliki pacar, sudah pasti minimal Ilham memilih yang mengenakan hijab.
“Kok diem? Apa ternyata Ilham cuma mempermainkan lo aja? Atau jangan-jangan dia udah melakukan sesuatu yang nggak seharusnya?”
“Seneng bangat sih lo Ka cari-cari keburukan Ilham, emang apa manfaatnya?” tanya Ana yang kesal mendengar pemikiran Arka.
“Cie yang gebetannya dibelain. Nggak bisa lagi dong gue panggil lo pakai sebutan sayang atau cinta?”
Lelah menghadapi perilaku Arka yang semakin menjadi, Ana memijit pelipisnya, dia pusing.
“Kalau mau menarik perhatian Ilham, minimal lo harus lebih kelihatan kayak cewek, An. Lepasin nih ikat rambut, punya rambut panjang-panjang kok nggak pernah digerai,” ucap Arka yang secara paksa melepaskan ikat rambut yang Ana pakai tanpa peduli tindakannya menghasilkan sebuah ringisan kesakitan.
Ana mengusap-usap kepalanya seraca refleks merasakan ada beberapa helai rambut yang rontok efek ditarik, “Sakit tahu! Balikin ikat rambut gue.”
Tangan kanan Arka yang memegang ikat rambut berwarna hitam malah semakin menjauh, “Nggak, justru gue pengen bawa lo ke salon terus ke toko baju buat melakukan make over biar cantik dan langsung buat Ilham ngajak lo pacaran.”
Ana berdecak kesal sambil mencoba mengambil ikat rambutnya, “Lo ngeselin bangat sih. Nggak ada untungnya juga kali buat lo walau seandainya gue sampai pacaran sama Ilham.”
Arka mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin, memanfaatkan perbedaan tinggi badan agar Ana tidak bisa menjangkaunya, “Untungnya? Gue mau tahu gimana respon Ilham lihat ceweknya dekat sama cowok lain, terus lihat kayak gimana sih cowok alim saat sedang pacaran. Kira-kira bisa tahan godaan nggak ya?”
Dengan kesal Ana menginjak kaki Arka sekuat tega, “Jangan samakan lo dengan dia deh.”
Saat Arka mengaduh kesakitan, Ana langsung merebut ikat rambutnya kemudian berjalan pergi tanpa peduli dengan cowok ini lagi.
∞
Ilham sangatlah tahu Ana mudah dekat dengan cowok dengan tipe apapun. Tapi sekarang melihat Ana sedang berdebat dengan Arka saja sudah membuatnya cemburu.
Memang cemburu merupakan bentuk dari cinta, tapi tetap saja tidak mengenakan melihat perempuan yang disuka dekat dengan laki-laki lain. Tidak ingin terus merasa kesal, Ilham memutuskan pergi ke toilet dulu untuk mencuci muka agar pikirannya jernih kembali.