Aulia menggerutu tidak jelas sepanjang jalan. Menyalahkan Ibu yang tidak membangunkannya, menyalahkan Aini yang tidak bisa mengantar karena alasan sepeda motornya mogok, mengumpat waker yang tidak berbunyi. Gadis itu bahkan membentak sopir angkot yang terus berhenti. Mengetem penumpang lain.
“Kalau mau cepat naik angkot lain saja, Dek.” Sopir protes tidak terima dibentak.
Wajah Aulia merah padam, dia malu diperhatikan penumpang lain.
Setelah turun dari angkot Aulia berlari menuju gerbang sekolah. Dia lekas berteriak pada penjaga sekolah yang hampir menutup pintu. Sedikit lagi pintu tertutup rapat.
Teriakan Aulia disusul dari lawan arah.
“Tunggu, Pak.!” Diperempat jalan Yohan menerima nasib sial. Sepeda motornya tiba-tiba saja mogok. Dia terpaksa menaik angkot setelah sepeda motor dia titip pada bengkel.
“Awh.” Aulia meringis, tubuhnya terhimpit oleh tubuh Yohan yang juga menerobos gerbang sekolah.
“Permisi aku duluan,” ujar Yohan.
“Enak saja, aku duluan.” Aulia tidak ingin kalah, mendesak tubuh Yohan.
Aulia dan Yohan saling mendesak. Pak Penjaga sekolah menggeleng kepala melihat perilaku mereka. Dia inisiatif membuka gerbang lebih lebar. “Tinggal di geser aja, Non, Den, kenapa jadi ributan?"
Aulia dan Yohan terlonjat. “Kenapa tidak dari tadi?"
“Anak jaman sekarang.” Pak Penjaga sekolah menggeleng kepala.
Aulia dan Yohan kejar-kejaran menuju kelas, tarik-menarik. Berlomba paling cepat. Mereka tidak ingin keduluan dari Miss Rina guru killer Bahasa Inggris. Tidak ada ampun bagi siswa yang terlambat.
Tiba di depan kelas Aulia dan Yohan mengerang. Mereka terlambat. Miss Rina sudah di dalam kelas, sedang mengabsen. Sialnya nama mereka sudah lewat.
“Ini semua salah kamu. Aku jadi terlambat.” Aulia menyalahkan Yohan dengan napas terengah.
“Kok, jadi salah saya?” protes Yohan.
“Iyalah, salah kamu. Seandainya kamu tidak mendesak aku di gerbang, menarik tas saya, saya mungkin tidak terlambat.”
“Hei! Saya juga terlambat karena kamu. Bukannya kamu juga menarik-narik saya,” Yohan protes, tidak terima disalahkan.
“Kamu jadi salahin saya, bukannya kamu – “ Kalimat Aulia terpotong karena kehadiran Miss Rina di ambang pintu kelas.
“Ada apa ini berisik sekali?”
Yohan dan Aulia memasang wajah memelas. Berharap hal terbaik terjadi, tetapi Miss Rina tetaplah Miss Rina yang sangat memuji kedisiplinan. Tidak ada ampun bagi siswa yang terlambat. Walau pun itu Aulia siswa telandan di sekolahan.
***
Aulia menghentak-hentak kakinya di tanah. Sudah hampir satu setengah jam dia dan Yohan berdiri di lapangan sekolah sambil menghadap matahari terbit. Kakinya sudah pegal. Belum lagi matahari yang mulai terik.
“Aish! Kapan pula bel bunyi? Pegal. Mana panas pula,” Aulia mendumal, wajahnya merah padam karena sinar matahari.
“Percuma menggerutu tidak akan membantu. Yang ada itu wajah semakin jelek,” Yohan yang berdiri di sebelahnya menyeletuk.
“Apaan, sih? Tidak lucu.” Aulia melengos.
“Aku memang sedang tidak sedang melucu karena aku bukan pelawak.”
Aulia tidak menanggapi gurauan Yohan.
Yohan tersenyum melihat wajah Aulia yang semakin di tekuk, yang telihat lucu di mata Yohan. Bibir manyun dengan wajah yang menggembung. Mirip ikan buntal.
"Kenapa kamu senyum-senyum tidak jelas begitu? Memang ada yang lucu?" tanya Aulia.
"Kamu! Kamu lucu kalau lagi merengut begitu. Mirip ikan buntal," ejek Yohan.
"Yohan! Apaan, sih?" Aulia melotot.
Bukannya takut melihat Aulia yang memasang wajah garang Yohan semakin terpingkal. Menurutnya wajah Aulia tidak terlihat garang sama sekali. Dia sekarang mengerti kenapa anak-anak di kelas sama sekali tidak takut dengan Aulia marah saat kelas ribut.
“Yohan! Sudah, berhenti ketawanya. Tidak lucu.”