When I Meet You Again

Lirin Kartini
Chapter #7

BAB 7. Pria Berkaus Abu-abu

Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong.

Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut.

Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali.

Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam.

Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini!

“Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!” tegur Saga tanpa menoleh.

“Iya, Pak …,” jawab Val lirih.

Val, kamu di sini untuk bekerja! Jangan memberikan kesan jelek di hari pertamamu bekerja! Val menyemangati dirinya sendiri. Ia pun mulai membaca berkas yang Saga berikan tadi.

Sepanjang sisa hari itu, Val berusaha memusatkan konsentrasi dalam bekerja hingga sebuah pesan muncul di monitornya. Ia terbelalak membaca kalimat yang tertulis di aplikasi pesan kantor itu.

“Val, bisa ke ruanganku sebentar?” Nama pengirim pesan itu adalah Arion. Pria yang ia kenal tanpa sengaja beberapa hari lalu, yang sekarang menjadi atasannya di perusahaan ini.

Bagaimana mungkin kebetulan ini terjadi dua kali dalam waktu berdekatan? Val terperangah. Ia menatap kosong pada monitor di depannya.

Val belum─lebih tepatnya─ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia masih sibuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Jika peristiwa ini ada dalam sebuah drama atau novel, ia akan percaya begitu saja. Tidak mungkin kenyataan ini akan seindah tayangan yang ia tonton, jika bukan dalam mimpi.

Kali ini tangan Val mencubit pipinya sendiri. Siapa tahu ia tadi ketiduran waktu mempelajari setumpuk berkas pekerjaan yang rasanya tidak berkurang sedikit pun.

“Aduh!” pekiknya dengan suara tertahan. Terasa sakit. Berarti ini kenyataan.

Bolehkah aku sebahagia ini? Apakah pangeran itu jadi milikku? Harapannya melambung tinggi. Tanpa sadar pipinya memerah. Untung saja Saga sedang tidak berada di tempat. Entah dia ada di mana, Val tidak peduli.

Lihat selengkapnya