When Life Gives You Kemas

wartegofc
Chapter #2

Paket, Mbak!

Apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku? Bayangkan diri kalian berada di tengah malam yang sunyi, hanya ditemani desiran angin dan tatapan asing dari orang yang tidak kalian kenal.

Apakah kalian akan berpura-pura tidak peduli, menganggapnya hanya sebagai bayangan yang tak perlu dihiraukan? Atau, seperti aku, tak membiarkan rasa penasaran menguasai dan mencoba mendekat untuk mencari tahu?

Ya, di seberang jalan itu, di bawah bayangan pohon, aku melihat dua sosok asing itu lagi. Mereka adalah pria-pria yang sama seperti yang kulihat tadi siang, berdiri diam dan kembali memandang rumahku dengan tatapan penuh arti.

Jantungku langsung berdebar kencang. Aku berusaha menenangkan diri, mencoba menegaskan bahwa ini hanyalah sebuah kebetulan. Mungkin mereka hanya orang yang lewat atau mungkin juga tetangga baru yang ingin mengenal lingkungan sekitar.

"Paket Mbak!"

Aku tersentak, seorang kurir paket berhenti tepat di depanku, memblok akses pengelihatanku pada orang asing di seberang jalan.

"Buset, ngagetin aja, Pak!" kesalku. Pukul sebelas malam, siapa yang mengantar paket malam-malam begini?

Wajah kurir ini tampak lelah, dan ia menghela napas panjang sebelum berbicara. "Selamat malam, Mbak Tabitha?" sapanya, meskipun suaranya terdengar agak jengkel. "Ada paket untuk Anda."

Aku memandang kotak kecil yang ia bawa, masih bingung karena merasa tidak pernah memesan apapun. "Dari siapa, ya, Pak?"

Kurir itu mengangkat alis, menatap label pada paket dengan ekspresi frustasi. "Nah itu dia, Mbak. Nggak ada nama si pengirim. Alamat yang dia kasih juga nggak spesifik. Saya tadi hampir kesasar nyari rumah Mbak."

"Hah?" mulutku mengaga sempurna.

"Pengirimnya cuma kasih petunjuk samar-samar, Mbak. Nggak ada nama jalan atau nomor rumah yang jelas," katanya kesal sambil melihat-lihat nomor di dinding rumahku.

Aku menatapnya dengan kening berkerut. "Kok bisa? Kalau susah nyarinya, kenapa nggak balik aja, Pak?"

Kurir itu menggelengkan kepala, ekspresinya berubah semakin kesal. "Tadinya saya pikir gitu, Mbak. Tapi, pengirimnya ngancam mau komplain ke perusahaan kalau paket ini nggak nyampe malam ini juga. Katanya penting banget."

"Wah, nggak enak juga, ya. Makasih, deh, Pak, udah repot-repot nyari rumah saya," jawabku sambil ancang-ancang hendak mengambil kotak itu dari tangannya.

Sontak sang kurir menghalau tanganku dari kotak itu."Eh! Tapi, ini COD, Mbak. Totalnya delapan puluh ribu rupiah," jelasnya.

Aku tertegun sejenak. Delapan puluh ribu? Untuk sebuah paket yang bahkan aku nggak tahu isinya? "Maaf, Pak, saya nggak pesan apa-apa. Dan, saya juga nggak siap dengan uang segitu sekarang."

"Mbak, saya tadi udah muter-muter nyari alamat ini. Saya nggak bisa balik tanpa uangnya." Dia menghela napas panjang, jelas frustasi.

Aku menggeleng, mencoba menjelaskan. "Pak, saya beneran nggak tahu soal paket ini, dan saya nggak punya uang sebanyak itu sekarang. Saya ini baru aja dipecat dari pekerjaan, Pak. Bisa nggak ini dikembalikan aja ke pengirimnya?"

"Ck!" Dia menatapku tajam, seperti ingin menelanku saat ini juga. "Ya nggak bisa begitu! Kalau saya nggak dapet bayaran, saya yang bakal kena masalah. Apa Mbak nggak ada uang sama sekali?"

Aku mengigit bibir. "Bukan nggak ada, Pak, tapi paket ini datangnya mendadak. Saya nggak punya uang."

Lihat selengkapnya