When Life Gives You Kemas

wartegofc
Chapter #5

I Got You

Malam ini terasa panjang, lebih panjang dari yang pernah kurasakan sebelumnya.

Aku duduk di ruang interogasi, di balik meja yang dingin dan steril. Jam dinding di depanku terus berdetak dengan ritme yang menyebalkan, menghitung setiap detik yang terasa seperti selamanya.

Mereka telah memeriksaku hampir empat jam, tanpa henti, tanpa jeda. Pertanyaannya sama, berulang-ulang. Tentang wifi rumahku, tentang perangkat elektronik yang kugunakan, tentang siapa saja yang pernah mengunjungi rumahku.

Aku menjawab semuanya dengan jujur, meskipun suaraku mulai serak dan kelelahan. "Kalian nggak bakal dapetin pengakuan saya, karena saya memang nggak terlibat," kataku kesal pada salah satu petugas.

Dia langsung menatapku datar. "Anda pemilik rumah, Anda juga yang bertanggung jawab atas akses wi-fi di rumah Anda. Bagaimana mungkin Anda tidak terlibat sama sekali?"

Sebagai pengacara yang kerap kali mengurus kasus litigasi, tentu aku sudah terbiasa dengan pemeriksaan berbelit dan memakan waktu lama seperti ini, walau hanya untuk mendampingi klienku.

Tapi, meskipun aku tahu ini hal yang biasa dalam prosedur BAP, tidak ada yang lebih mengesalkan daripada diperlakukan seolah-olah aku adalah pelaku. Lagi pula, siapa mereka sampai berani mengira aku, Tabitha, bisa terlibat dalam hal semacam ini?

"Bapak nggak cape apa?" tanyaku putus asa, membuat petugas yang sedang mengetik BAP menengok sinis ke arahku.

Rasa frustasiku semakin memuncak seiring waktu berjalan, tapi aku menahan diri untuk tidak meledak di depan mereka. Sebagai pengacara, aku tahu bagaimana harus bersikap dalam keadaan seperti ini.

Akhirnya, sekitar pukul tiga dini hari, dua orang petugas masuk ke ruangan pemeriksaan ini dengan raut wajah yang sedikit lebih tenang. Mereka duduk di depanku dan mulai berbicara dengan nada yang berbeda, lebih empatis.

“Kami sudah melakukan penyelidikan mendalam, dan tampaknya Anda tidak terlibat dalam kegiatan ilegal yang dilakukan buronan itu, Nona Tabitha,” katanya.

Aku menarik napas panjang, merasakan sedikit beban terangkat dari pundakku, meskipun tidak sepenuhnya.

"Namun," lanjutnya, "ada sesuatu yang mungkin harus Anda ketahui. Buronan yang kami cari ini terlibat dalam kasus penipuan online, yang korbannya tidak hanya masyarakat biasa tetapi juga anggota kepolisian. Kebetulan yang sangat menarik karena Anda tadi menyebutkan bahwa Anda juga baru saja menjadi korban penipuan online."

Aku mengangkat alis, merasa darahku mendidih lagi. Penipuan online itu, yang telah merampas sebagian besar uang pesangonku, yang membuatku terancam jadi gembel. Dan sekarang, mereka memberitahuku bahwa orang yang bertanggung jawab atas semua ini mungkin saja buronan yang mereka cari?

Tapi, ada hal lain yang mengganggu pikiranku. "Jadi.. " aku memulai dengan nada datar namun penuh dengan penekanan, "karena korban penipuan ini adalah salah satu dari anggota kalian, jadi kalian bergerak cepat, ya? Kalau korbannya masyarakat biasa, pasti harus nunggu lama, 'kan? Itu pun kalau nggak disuruh siapin uang buat percepat proses."

Mereka saling bertukar pandang, jelas tidak nyaman dengan sindiran yang kuberikan. Satu dari mereka berdeham, berusaha menjaga profesionalismenya, tapi aku bisa melihat guratan ketidaknyamanan di wajahnya.

"Maaf, Nona Tabitha, ini bukan masalah siapa korbannya—"

"Saya udah boleh pulang belum, nih?" Aku memotong kalimatnya tanpa ragu.

"Ya, sudah boleh kok," jawabnya dengan nada yang mencoba menenangkanku. "Anda telah terbukti tidak bersalah. Namun, kami perlu Anda tetap waspada. Jika Anda menemukan kejanggalan atau melihat sesuatu yang mencurigakan di rumah Anda, segera laporkan kepada kami. Kami masih memburu buronan itu, dan dia mungkin mencoba kembali ke tempat yang menurutnya aman. Kami tidak ingin ada korban lainnya.”

Aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan. Kepala dan hatiku terasa berat saat aku berjalan keluar dari kantor polisi menuju mobil yang sudah menunggu.

Malam sudah hampir berlalu saat aku kembali ke rumah. Langit mulai menunjukkan sedikit semburat pagi, tetapi tidak ada rasa lega yang biasanya kurasakan saat melihat fajar. Yang ada hanyalah kelelahan, dan pikiran yang terus berputar tanpa henti.

Aku berjalan lunglai masuk ke rumahku yang kini terasa asing, mengunci pintu rapat-rapat, dan akhirnya membiarkan tubuhku yang lelah jatuh di sofa.

"Ibuuk, Tabitha cape banget," teriakku, seolah-olah saat ini ibu ada di sampingku.

Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan kejadian malam ini terus menghantui pikiranku. Aku sudah terbukti tidak bersalah, tapi entah mengapa aku merasa ini belum berakhir.

Buronan? Di rumahku?


👣👣


Aku terbangun ketika cahaya matahari senja menembus celah-celah tirai jendela ruang tamu. Kepalaku masih terasa berat, mungkin akibat kurang tidur.

Jam dinding menunjukkan pukul lima sore—terlambat untuk menyebutnya siang, tapi terlalu awal untuk malam. Aku mengusap wajahku, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk, lalu beranjak dari sofa saat perutku berkeroncong, menyadarkan bahwa aku belum makan apa pun sejak pagi.

Dengan cepat, aku menyambar jaket dan dompet, lalu melangkah keluar menuju warung soto yang tak jauh dari rumah. Di saat seperti ini, tak ada yang lebih menenangkan daripada semangkuk soto hangat dengan kuahnya yang gurih dan penuh rempah.

Sesampainya di warung, aku langsung saja memesan semangkuk soto. Dan tak lama muncul seorang wanita paruh baya yang tinggal di sebelah kontrakanku, itu Bu Lina. Sosok yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menegur atau mengomentari apa pun yang terjadi di lingkungan kami.

Dia melirik ke arahku dan mendekat, tanpa basa-basi menyapa. "Tabitha, kamu tadi malam bikin pesta ya? Berisik sekali suaranya sampai suami saya nggak bisa tidur," katanya dengan nada mencela, sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring.

Aku menoleh padanya, sedikit bingung. "Pesta? Pesta apa, ya, Bu? Nggak ada pesta, tuh!"

Bu Lina menatapku dengan curiga, seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan. "Tapi saya dengar jelas ada suara musik keras dari rumahmu. Sampai lewat tengah malam," ia menekankan lagi, kali ini lebih yakin.

Lihat selengkapnya