When Life Gives You Kemas

wartegofc
Chapter #6

Sebuah Misi

Aku menatap Kemas, si buronan penyusup, dengan tatapan penuh evaluasi ketika dia mulai mengeluarkan barang-barang dari tasnya yang usang. Dia menggelar semuanya dengan hati-hati di lantai loteng yang sempit, seolah-olah sedang mempersiapkan pameran kecil dari kehidupannya yang keras.

Dengan ekspresi datar, aku menyandarkan punggung ke dinding dan bersidekap dada, mencoba membaca lebih jauh dari sekadar apa yang terlihat.

Ini semua terlalu gila untuk dipercaya, cerita menyedihkan Kemas membuatku berpikir ulang. Jika apa yang dikatakannya benar, dan dia hanya mencoba menyelamatkan sang adik dan para TKI yang terjebak, apakah aku masih pantas disebut manusia jika menutup mata dan tidak melakukan apa-apa?

"Jadi, kamu bawa semua ini ke mana-mana?" tanyaku, suaraku sedikit dingin. Aku tak bisa sepenuhnya menyingkirkan skeptisisme yang menumpuk di benakku.

Kemas meletakkan gitarnya yang sudah agak kusam, membuka case-nya dan memeriksa senar-senarnya."Yoi, ini semacam paket survival kit-gue," jawabnya dengan nada bercanda.

"Gitar ini, selain jadi temen saat kesepian, juga jadi cara tercepat untuk gue nyari uang kalau terdesak. Gue bisa main di mana aja, di jalan, di kafe kecil, asal ada orang yang mau dengar," lanjutnya.

Aku mengangguk tipis, masih menyimpan jarak. "Dan laptop itu?" tanyaku sambil menatap laptop usang yang terlihat masih cukup fungsional.

Dia tersenyum tipis, kali ini agak lebih serius. "Laptop ini adalah alat gue untuk mencari tahu informasi tentang mereka."

Alisku bertaut. "Mereka?"

"Iya, mereka, target gue. Lo tau? Scam itu bukan cuma soal keberanian menipu, ini soal taktik dan informasi. Tanpa data yang tepat, ibaratnya lo cuma menembak dalam kegelapan."

"Ck!" Aku mencibir, tak bisa menahan diri. "Kayaknya ahli banget, nih, nipu orang."

Kemas menatapku dengan mata yang tenang, tapi ada sedikit kilatan di baliknya. "Menipu penipu itu seni, Tabitha. Dan terkadang, untuk melindungi yang lemah, gue harus bermain di area abu-abu."

Aku terdiam, merenungkan jawabannya yang terlalu rumit untuk dipahami. Ada sesuatu dalam cara bicaranya yang membuatku tak nyaman. Kemas tampak begitu yakin dengan apa yang dia lakukan, seolah-olah dia punya alasan yang kuat. Tapi, tetap saja, aku tidak bisa sepenuhnya percaya padanya. Apalagi setelah semua yang terjadi padaku.

Dan apa itu tadi, dia tahu namaku?

"Tau namaku dari mana?" tanyaku penasaran, sangat penasaran.

"Gue nggak akan sembunyi ke rumah orang yang gue sendiri nggak tau identitasnya. Jadi jangan ditanya, panjang ceritanya."

"Oh," balasku singkat. Kini aku beralih menelisik baju-bajunya yang terlipat rapi. "Kamu nyusup ke rumah orang bawa baju sebanyak itu? Untuk apa? Pasti ada rencana cadangan, kan?"

"Rencana cadangan, sih, selalu ada." Dia terkekeh pelan, meletakkan sepasang kaos ke samping. "Tapi jujur aja, sekarang gue nggak mikirin itu, yang terpenting gue punya tempat untuk sembunyi yang aman dulu."

Aku mendengus tidak percaya. "Aman? Di sini? Di loteng rumahku?"

Lihat selengkapnya