“Ibu, apa semua yang hidup harus mati pada akhirnya?”
Anak perempuan berambut pendek itu menarik rok hitam ibunya sambil menuturkan pertanyaan yang menggelitik rasa penasarannya. Mata cokelatnya menatap sosok ibunya dengan penuh kepercayaan. Di matanya, Ibu adalah sosok yang tahu segalanya dan pasti bisa menjawab pertanyaannya.
Wanita yang dipanggil “Ibu” oleh anak perempuan itu terdiam sejenak dan menyeka air matanya. Ia sedang berbicara tentang masa lalu dengan sepupunya, mengenang sosok yang kini tidak dapat ia jumpai lagi.
“Tak apa, Mira, temani anakmu dulu. Kita bisa melanjutkannya nanti,” kata lawan bicara Mira, sosok yang dipanggil “Ibu” oleh anak perempuan yang mengenakan baju setelan hitam tersebut.
Mira kemudian menggendong anak perempuan yang masih berusia sekitar 8 tahun itu. Berdasarkan pertanyaan yang tadi ia dengar, Mira berpikir bahwa ada baiknya ia mencari tempat duduk di tempat yang lebih sepi untuk memberikan penjelasan dengan baik kepada putrinya. Setelah menemukan tempat yang pas, Mira duduk dan menempatkan Livi supaya anaknya dapat duduk di pangkuannya dengan nyaman.
“Tentu saja, Livi. Livi ingat ketika Livi nonton kartun kesukaan Livi, selalu ada lagu pembuka dan penutupnya, ‘kan? Begitu juga dengan hidup, selalu ada awal dan akhir.”
“Awal dan akhir dari hidup?” Anak perempuan yang bernama Livi itu menatap ibunya dengan penuh kebingungan.
“Ya. Contohnya, ketika adik lahir, itulah awal kehidupan. Sedangkan akhir kehidupan ada ketika kematian datang... Sama seperti saat kakek buyut meninggal kemarin,” jawab Ibu Livi. Suaranya sedikit bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhirnya, matanya dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam.
“Kenapa harus begitu? Akan lebih baik kalau kematian itu tidak pernah ada, ‘kan? Habis, Ibu dan orang-orang yang lain jadi sedih begini ketika kakek buyut meninggal... Livi tidak suka,” jawab Livi sambil mengernyitkan dahinya.
Meski tidak merasakan kesedihan yang mendalam seperti ibunya dan kerabatnya yang lain akibat tidak seberapa dekat dengan kakek buyutnya, Livi tidak suka melihat ibu dan kerabatnya yang lain yang tidak berhenti menangis. Sudah tiga hari sejak kakek buyut meninggal, namun ibunya masih terus menangis di rumah duka ini. Selain itu, Livi juga melihat kakek, nenek, tante, dan omnya yang muram atau menangis. Oleh karena itu, Livi langsung memutuskan bahwa ia tidak menyukai “kematian” dan tidak mengerti mengapa harus selalu ada kematian.
“Ya... Mungkin akan lebih baik kalau kematian tidak pernah ada. Tidak akan ada yang merasa sedih dan kehilangan karenanya. Tapi, Livi... Kehidupan dan kematian harus selalu ada supaya semuanya seimbang. Jika salah satunya tidak ada, maka akan timbul kekacauan.”
Livi kembali mengernyitkan dahinya.
“Aku mengerti... tapi aku juga tidak mengerti...,” Livi akhirnya menggelengkan kepalanya. Ia paham bahwa kehidupan dan kematian merupakan hal yang saling berpasangan, namun ia masih tidak mengerti kenapa hukum di dunia ini mengharuskan adanya hal yang menyedihkan seperti kematian. Bukankah akan lebih baik kalau semua cerita dapat terus berlangsung, tanpa ada akhir yang menyisakan rasa kehilangan?
Mira tersenyum pahit melihat anaknya yang mulai penasaran dengan hukum alam yang juga dipertanyakan banyak orang. Ia berpikir bahwa tidak akan ada jawaban yang dapat ia berikan jika Livi terus bertanya kepadanya. Saat Mira tengah berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan supaya anaknya tidak memikirkan hal yang berat seperti ini, Mira teringat akan kisah yang pernah didengarnya tentang kehidupan dan kematian.
“Livi, apa kamu mau mendengarkan sebuah cerita?”
“Eh??” Livi kembali dibuat bingung oleh ibunya. Kenapa tiba-tiba ibunya mau menceritakan sebuah kisah kepadanya?
Melihat keraguan yang tertulis jelas di wajah Livi, Mira tertawa dan melanjutkan, “Ada jawaban lain dari pertanyaan Livi yang tadi, soal mengapa semua yang hidup harus berakhir dengan kematian... Dan jawaban itu adalah sebuah kisah.”
“Kisah apa?” Livi akhirnya tertarik mendengarkan kisah yang ditawarkan ibunya, mendengar bahwa ini ada kaitannya dengan pertanyaannya tadi.
“Tahukah Livi, bahwa ada yang mengatakan bahwa dewi kehidupan begitu menyukai dewa kematian dan mengirimkan berbagai hadiah sebagai bukti cintanya?” tanya Mira.
“Eh?! Hadiah...? Jadi, semua yang hidup akan menjumpai kematian karena hal itu? Jahat sekali dewi kehidupan itu!” Livi langsung protes.
“Hahaha, bukan begitu, sayang. Hadiahnya bukan jiwa makhluk hidup. Dewi kehidupan juga tidak boleh seenaknya mengakhiri hidup seseorang untuk diberikan sebagai hadiah kepada dewa kematian. Nanti ia bisa dihukum oleh Tuhan,” Mira tertawa melihat reaksi Livi yang menggemaskan.
“Terus, apa dong?” Livi mulai kehilangan kesabarannya dan cemberut.
“Nah... Livi mau ‘kan mendengar cerita tentang cinta antara dewi kehidupan dan dewa kematian? Kamu penasaran ‘kan, dengan hadiah yang diberikan dewi kehidupan dan bagaimana kisah cinta mereka?” Mira memancing anaknya dengan pertanyaan tersebut. Ia tahu bahwa Livi tidak suka mendengarkan sesuatu secara setengah-setengah.
“Iya, iya! Ayo bu, ceritakan!!” Livi benar-benar telah lupa bahwa sampai beberapa saat yang lalu, ia masih berusaha memikirkan alasan kenapa kematian harus ada.
“Baiklah... Dengar baik-baik, Livi... Alkisah di luar dunia tempat kita tinggal ini, terdapat dunia lain yang bernama Dunia Dewa. Di dunia tersebut, tinggallah para dewa dan dewi yang bekerja membantu Tuhan. Setiap dewa dan dewi dipercayakan dengan tugasnya masing-masing, seperti dewa kegelapan yang bertugas mengawasi dan mengendalikan semua yang gelap, dan dewi cahaya yang mengawasi dan mengendalikan semua yang terang. Setiap dewa dan dewi ini juga dibantu oleh para malaikat pembantu.”