Embusan angin menerpa kulit Nizar, dinginnya menusuk tulang. Seperti akan hujan lagi. Ia menyesal tak memakai jaket saat berangkat tadi. Cuaca yang berubah-ubah seakan tahu hatinya sedang carut-marut. Perjalanan dari rumah ke minimarket tempat kerjanya terasa lebih lama dari biasanya. Ia terngiang-ngiang ucapan dari Yahya beberapa hari yang lalu.
“Zar, aku tau sampean nggak dekat dengan ibukmu. Aku juga paham kenapa sampean malah merantau ke sana sewaktu Mbah Putri sedo, padahal ibukmu yang belasan tahun nggak pulang itu akhirnya datang. Sampean itu udah tak anggep adek sendiri. Jadi di sini aku berusaha untuk bantu ibukmu, karena bagaimanapun bapakmu lalai, dia bersalah. Kalau sampean merasa mereka bukan bagian dari keluargamu, setidaknya sampean harus tetap menganggap bahwa ibukmu adalah orang yang melahirkanmu. Sekalipun sampean nggak merasakan kasih sayang dari ibukmu, setidaknya beri dia kesempatan, selagi masih sama-sama sehat.”
Nizar mendengarkan dengan seksama, hingga tak terasa air matanya membasahi pipi. Gegas diusapnya, seolah takut ada yang melihat, padahal ia sedang berada dalam ruangan tertutup sendirian. Jauh dalam lubuk hatinya, ia mendambakan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Saat itu Nizar mengakui dalam hati bahwa ia sebenarnya ingin keluarganya bahagia dan utuh. Ia tidak ingin satu pun masalah menyentuh keluarganya. Ia menyayangi mereka meski bertahun-tahun terasa asing. Bagaimanapun juga, darah lebih kental daripada air.
Nizar lantas berkata, “Mas, ngapunten, aku butuh waktu, aku mungkin akan pulang, tapi belum tahu kapan. Aku punya permintaan, maaf merepotkan, Mas, biarkan Ibuk tinggal di rumah Bulek Rani untuk sementara waktu. Sampean keberatan?”
“Enggak, Zar, aku nggak keberatan. Ibukku juga ga pengen adeknya kenapa-kenapa. Sudah beberapa hari ini ibukmu tinggal di sana,” jawab Yahya. Tak lama kemudian terdengar suara perempuan memanggil, yang Nizar tahu, itu istrinya Yahya.
“Sambung kapan-kapan lagi, Zar. Ini aku mau keluar dulu,” pungkas Yahya.
Nizar cepat-cepat menjawab sebelum telepon ditutup, “Nggeh, matur nuwun.”
Usai menutup telepon, Nizar merasakan kehampaan. Benar kata orang, takada yang benar-benar bisa hidup sendiri, sebab manusia adalah makhluk sosial. Disimpannya rapat-rapat berbagai emosi yang ia rasa. Ia berharap semuanya segera mereda.
Tin tiiin ....
Nizar terkesiap, klakson yang berasal dari mobil di belakangnya menyadarkan lamunannya. Hampir saja ia tertabrak kendaraan lain. Kepalanya akhir-akhir ini sering sakit, lalu otaknya membawa kesadarannya pada percakapan bersama Yahya beberapa hari yang lalu.
“Masih pagi kok sudah ngelamun to, bahaya!” batinnya memaki diri. Mobil yang mengklakson tadi mendahului, ia menepi ke kiri dan mengurangi kecepatan motornya. Nizar berupaya tak melamun lagi, apalagi minimarket tempat ia kerja sudah dekat.
Begitu sampai, rekan-rekan kerjanya sudah berkumpul. Nizar terlambat lima menit. Seorang supervisor yang berada di antara lingkaran perkumpulan karyawan menyapanya ramah. Nizar mengenal dengan baik sebab lelaki itu masih kerabat Sherin.
“Zar, selamat, ya. Ga kabar-kabar nih,” ucap Mukhtar seusai rapat.
“Gimana-gimana?” Nizar yang tengah menata barang di rak pun menoleh. Ia terheran dengan ucapan supervisornya itu. Seingatnya takada kabar bahagia yang perlu diceritakan akhir-akhir ini.
“Gue denger, Sherin udah lamaran,” bisik Mukhtar.
Nizar terhenyak. Apakah ia tidak salah dengar?
“Masih pagi udah ghibah, bisik-bisik di sini lagi. Minimal bagi info lah,” celetuk Febri yang merupakan seorang kasir.
Nizar tak merespon, ia butuh penjelasan dari Mukhtar mengenai ucapannya tadi.
“Yang lagi ghibah siapa juga, nah tuh ada customer, cepet layanin, jangan lupa senyum, ntar kabur lagi pelanggannya,” seloroh Mukhtar. Ia mudah bergaul dengan siapapun, sehingga para karyawannya tak segan melontarkan candaan juga.