Foto Sherin yang menjadi wallpaper Hp dipandangi lama oleh Nizar sembari menunggu di depan pintu rumah Sherin. Ia sudah menekan bel sedari tadi dan berharap pintu itu segera terbuka. Meski mobil hitam milik Ayah Sherin tidak ada di halaman. Perasaannya campur aduk, antara sedih, takut, dan kecewa.
“Sherin ... semoga kabar itu ga bener,” batin Nizar dengan perasaan cemas.
Usai menekan bel dua kali, akhirnya pintu rumah itu terbuka. Jantung Nizar berdegup kencang. Terutama saat melihat Sherin dari balik pintu. Rambut panjangnya tergerai indah. Ia memakai kaus oversize warna putih dan celana pendek abu-abu. Sherin tampak terkejut dengan kehadiran Nizar, spontan ia hampir menutup pintu lagi, tetapi ditahan oleh Nizar.
“Kita harus bicara,” tatap Nizar dingin. Sekuat tenaga ia sembunyikan perasaan-perasaan yang membuatnya gamang.
Sherin menciut melihat tatapan Nizar, hampir tidak pernah Nizar menunjukkan raut wajah seperti itu di depannya.
Nizar meletakkan makanan yang ia bawa di meja, kemudian duduk di sofa Tuxedo berwarna cream. Sherin duduk di seberangnya. Ia tak menatap Nizar dan sibuk memainkan ponsel.
“Lihat gue.”
Sherin tetap menunduk. Nizar menghela napas.
“Sebenernya lo kenapa sih? Gue ada salah? Kenapa secuek ini?” tanya Nizar beruntun. Pandangannya tak lepas dari Sherin. Perempuan itu menjadi titik fokusnya sekarang.
“Jawab, Sher!” seru Nizar tak sabar.
“Gue mau putus.”
Kalimat itu benar-benar meluncur dari mulut Sherin.
“Apa kata lo?” Nizar masih berharap telinganya salah dengar. Jantungnya berdetak tak terkontrol. Ia gemetar.
“Gue mau putus, Zar,” ulang Sherin dengan raut wajah datar.
“Alasannya apa? Gue ada salah?”
“Gue udah ga cinta sama lo.”
“Segampang itu? Lo ga mikirin perjuangan gue selama ini?”
“Emang perjuangan lo apa aja? Sok banget.”
Nizar memejamkan mata beberapa detik, ia tak sanggup mendengar kalimat itu.
“Gue udah ngorbanin banyak hal buat lo, Sher, dan lo tau kalau lo selalu gue prioritaskan. Lo satu-satunya orang penting yang ada di hidup gue.” Nizar menahan amarah.
Sherin membisu, hanya suara detak jam yang mengiringi suasana absurd itu.
“Berarti bener soal kabar lo lamaran.”
Sherin mengangguk samar, matanya tak bisa fokus pada Nizar.
“Lo maunya apa sih?”
“Gue mau cowo yang effort-nya lebih dari lo. Seharusnya dari dulu lo bersyukur dapetin gue. Seharusnya lo segera nikahin gue!” Sherin berteriak.
Nizar terkesiap. Amarahnya memuncak. “Lo emang brengsek, Sherin! Gue selalu bersyukur dapetin lo, tapi kondisi ekonomi gue emang ga sestabil bokap lo! Lo kalau goblok jangan keterlaluan, gue udah usaha nabung buat halalin lo, tapi duit itu malah lo kasih ke Fandi! Goblok!”