When Life Must Go On

Adrikni LR
Chapter #6

Chapter 6

Beberapa hari yang lalu ....

Gemerlap bintang yang menghiasi langit malam tampak indah jika dipandang dari jendela kamar Sherin di lantai dua. Ia baru selesai mengobrol dengan Nizar melalui panggilan video. Ada rasa tenang sekaligus gelisah saat mengingat Nizar. Perkataan Siska terus menerus mengganggu dirinya, padahal di sisi lain, ia nyaman saat mengobrol berdua dengan Nizar.

Grup WhatsApp 'Pemburu Seblak' masih ramai dengan obrolan yang sejatinya enggan ia buka. Kalau bukan karena Siska, ia tidak akan masuk dalam geng itu. Melalui Siska ia bisa mengenal mereka semua, tetapi ia sering sesak saat membaca pesan-pesan mereka. Sayangnya Sherin mengabaikan perasaan itu, di otaknya selalu terfokus dengan statement, kalau ia tidak punya teman, maka ia tidak pantas hidup.

Sherin melangkah keluar dari kamar usai membaca beragam pembahasan dari grup itu, ia belum mengantuk sama sekali.

“Ah, untung kamu belum tidur, ada yang mau Ayah bicarakan.” Sherin berpapasan dengan sang Ayah di tangga yang sepertinya memang sedang menuju kamarnya.

“Tentang apa, Yah?” Keduanya berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Layar TV berukuran 65 inch menyala menampilkan film barat kesukaan ayahnya. Rupanya sang Ayah dari tadi sedang menonton sendirian.

“Ada rekan kerja Ayah yang mau jodohin anaknya. Dia nanyain kamu.”

“Terus?”

“Kamu mau nggak?”

“Orangnya kayak gimana dulu, Yah?”

“Setahu Ayah orangnya baik. Ayah kenal baik dengan orang tuanya.”

Sherin bimbang, ia teringat Nizar.

“Lah kamu emangnya punya pacar sekarang?” tanya Ayah Sherin serius.

“Ayah gatau?” Sherin tak langsung menjawab to the point, ia ingin mencari tahu sejauh apa yang ayahnya ketahui tentang hubungan percintaannya.

“Tau apa? Kamu sudah putus kan dengan Nizar?”

Dalam hati Sherin ingin mengelak, tetapi lain di hati, lain di mulut. Mulutnya justru berkata lain.

“Iya, Yah. Aku udah lama diputusin sama Nizar.” Sherin berdusta.

“Nah, kan, berarti lagi ga sama siapapun.”

Sherin mengangguk.

“Oh, iya, Ayah punya fotonya. Ayah kirim ke kamu, ya.”

Tak lama, ponsel Sherin bergetar, menandakan foto itu telah ia terima. Namun, ia tak langsung membukanya.

“Ibu tau?” tanya Sherin ragu.

“Taulah. Malah ibumu yang lebih dulu setuju dan nyuruh Ayah cepat-cepat nanyain ke kamu. Ibumu seneng banget itu.” Raut wajah ayahnya berseri-seri.

Sherin merasa tak enak hati. Dalam hatinya, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Pikirnya, belum tentu mereka sebahagia itu jika yang melamar adalah Nizar.

“Menjamin ga sih orang itu, Yah? Sherin takut dia aneh lagi.”

“Kalau kamu ketemu langsung sama dia pasti bakal lebih jelas. Mumpung besok hari libur, Ayah suruh mereka ke sini deh besok.”

Sherin mengerjap. Ayahnya terlalu antusias hingga ia tak mampu menolak. Ia hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Lantas pamit ke kamar sementara ayahnya lanjut menonton film. Ibunya tidak suka film barat, ia lebih suka drama-drama Korea atau China. Jadi, sang Ibu lebih sering tidur duluan dan membiarkan ayahnya menonton sampai larut malam.

Sampai di kamar, Sherin tak percaya dengan foto yang dikirim ayahnya. Laki-laki itu terlihat sangat tampan dan memesona. Jika dibandingkan dengan Nizar, maka hasilnya 6 banding 10 menurut Sherin.

Lihat selengkapnya