When Life Must Go On

Adrikni LR
Chapter #7

Chapter 7

Ingatan tentang Sherin masih belum bisa dilupakan oleh Nizar. Sudah dua minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan Sherin, tetapi hatinya masih saja dilanda gundah.

Seperti saat ini, Nizar tak kunjung terlelap walau malam sudah semakin gelap. Ia masih berkutat dengan galeri foto di ponselnya. Sudah berjam-jam lamanya, hanya demi menghapus segala kenangan bersama Sherin. Begitu pula barang-barang dari Sherin, semuanya dimusnahkan. Meski tak sebanyak apa yang ia berikan pada Sherin, tetap saja ada beberapa barang yang harus disingkirkan.

Jarinya berhenti mengeklik ‘hapus’ saat sampai pada sebuah foto di restoran bergaya klasik. Itu adalah foto kali pertama mereka berkencan.

Sherin memakai celana jeans dengan setelan baju berwarna putih, rambutnya sebahu. Bagi Nizar, itu adalah foto Sherin yang paling manis. Sementara Nizar di situ berfoto dengan senyum kaku. Tangannya bahkan masih memegang sendok dan garpu. Ia memakai celana pendek warna hitam dan kemeja lengan pendek berwarna senada. Sangat kontras dengan pakaian Sherin yang serba terang. Nizar masih ingat, yang membantu memotret mereka adalah seorang pramusaji restoran itu.

Sejenak Nizar bernostalgia. Pertemuan pertama mereka yakni di bulan Oktober 2020. Hampir empat tahun yang lalu.

Saat itu hari Senin, di mana semua kesibukan dimulai pada hari itu. Namun, rintik gerimis membasahi bumi Tangerang. Rasa malas sisa akhir pekan masih bergelayut. Akan tetapi, kenyataan mengatakan bahwa hari Senin sudah tiba dan harus segera membangun semangat.

Nizar yang merupakan pegawai baru di minimarket selalu berangkat setengah jam lebih awal. Tidak peduli dengan hujan yang semakin deras mengguyur kota. Dipakainya mantel plastik murahan yang ia beli di warung dan sudah sobek-sobek di beberapa bagian. Sebenarnya mantel itu hanya untuk sekali pakai, tetapi tidak bagi Nizar, ia memakainya berkali-kali sebagai bentuk penghematan.

Air yang menghantam jas hujannya itu merembes, membasahi beberapa sisi pakaian kerjanya. Di antara kepadatan pengendara yang hujan-hujanan dan bisingnya gemercik air, Nizar terfokus pada sosok perempuan yang berjalan di pinggir trotoar sembari menuntun motor. Gadis itu basah kuyup.

Nizar terheran, mengapa gadis itu tidak menepi dan berteduh? Mengapa ia membiarkan tubuhnya kehujanan?

Nizar masih mengamati dari jauh, para pengendara lainnya melewati gadis itu begitu saja. Agaknya mereka terburu-buru. Dalam hati Nizar mulai menimbang-nimbang, haruskah ia turun dan membantu?

Kilat merambat di langit abu-abu disertai gemuruh yang lantang. Nizar merasa iba, ia segera menepi dan bertanya pada gadis itu di sela-sela sahutan guntur.

“Motornya kenapa?” Nizar bertanya dengan meninggikan suara agar terdengar.

Gadis itu balas berteriak, katanya motornya mogok entah kenapa. Ia sedang berupaya membawa motor itu ke bengkel terdekat.

“Dekat sini ada bengkel, tapi kayaknya belum buka, ini masih terlalu pagi,” teriak Nizar.

Gadis itu mengangguk. “Iya, gue tau, gapapa gue tungguin sampai buka.”

“Gue bantu.” Nizar turun dari motornya. “Lo pake motor gue dulu, cegat gue di bengkel depan.”

Sementara Nizar mendorong motor milik gadis itu. Ia sebenarnya ingin mendorong motor tersebut menggunakan kaki dan ia tetap mengendarai motor milik sendiri, tetapi terlalu berbahaya mengingat jalanan sedang ramai pengendara. Apalagi dalam keadaan hujan deras.

Lihat selengkapnya