“Jangan ngacau di sini lo, Fan!” Nizar sekuat tenaga hendak menjatuhkan belati yang dipegang Fandi, tetapi Fandi yang lebih leluasa bergerak justru memindahkannya ke sisi lain.
“Lo ngapain sih di sini? Kalau kabur jangan ke sini, bikin sial aja lo.”
Fandi malah tertawa, “Dasar kacang lupa kulit. Lo tuh punya banyak utang ke gue, tanpa gue, lo bakal jadi orang udik di sini.”
“Ga peduli. Lo tuh cuma nyusahin hidup gue!” Nizar menyikut tubuh Fandi yang berada di belakangnya.
Fandi mengaduh, perutnya terkena sikutan Nizar.
“Gue gamau terlibat sama lo, Fan.” Nizar berhasil melepaskan diri.
Tiba-tiba terdengar bunyi gebrakan pintu lagi. Dalam hati Nizar memaki, ia takut pintu itu akan jebol, apalagi hanya menyewa.
“Fandi! Gue tau lo di dalam, keluar lo!”
“Sial!” umpat Fandi, ia lalu berlari ke kamar mandi.
Nizar menduga yang datang adalah para rentenir. Mereka tak berhenti menggedor-gedor.
“Aku harus buat kesepakatan supaya ga terseret,” batin Nizar.
Ia pun berteriak lantang tanpa membuka pintu. “Fandi ada di sini!” teriak Nizar. Ia tahu Fandi tidak akan bisa kabur sebab satu-satunya pintu keluar hanya di bagian depan.
Terdengar umpatan dari dalam kamar mandi, jelas Fandi mendengarnya.
“Gue bakal buka asal kalian ga menyeret gue. Di sini gue juga korban, uang gua jutaan dibawa kabur sama dia.” Lagi Nizar berteriak.
Dari luar sana, terdengar sahutan, “Oke, cepet buka! Kami cuma mencari Fandi, bukan yang lain. Kami ga ada urusan dengan orang selain Fandi.”
Nizar menghela napas, ia merasa lega. Tetapi saat tangannya tengah menggeser gerendel pintu, Fandi datang dan mengancamnya dengan pisau lagi.
Nizar tak gentar, ia hanya perlu menggeser sedikit lagi, dan ... klik, akhirnya pintu terbuka. Bersamaan dengan itu, Nizar menjerit dan refleks meninju Fandi dengan tangan kosong.
Cairan berwarna merah menetes cepat, menodai keramik putih yang baru dipelnya beberapa hari lalu. Nizar meringis kesakitan, tangan kirinya tersayat belati cukup dalam. Beruntung tangan kanannya yang masih cukup kuat bisa meninju laki-laki parasit itu sampai tumbang.
Meski tidak pingsan, setidaknya ia tersungkur jatuh dan memudahkan orang yang mencari Fandi tadi. Para pria berbadan kekar itu segera meringkus Fandi. Mereka juga mengamankan belati yang digunakan untuk melukai Nizar.
Para tetangga yang mendengar kebisingan pun berdatangan. Sebagian hanya melihat sambil berbisik-bisik. Sebagian pula datang mengerumuni Nizar seraya bertanya kenapa. Nizar tak menjawab, ia sibuk mengutuk Fandi dalam hati.
Beberapa orang menawarkan untuk menghubungi polisi, tetapi Nizar menolak. Ia tidak ingin ribut-ribut apalagi sampai membawa jalur hukum.
Bukan karena ia tak marah, bukan pula sebab ia sudah memaafkan. Nizar hanya lelah dengan berbagai kejadian akhir-akhir ini. Tidak cukup tenaganya untuk berdebat dengan siapapun.
Hanya satu tawaran yang Nizar iyakan, yakni penawaran untuk diantar berobat. Orang yang menawarkan adalah pemilik kos yang ia sewa, Nizar diantar menggunakan mobil. Sebelum itu, bapak kos membelitkan sepotong kain di bagian yang luka agar darahnya berhenti menetes.
🍁🍁🍁
Sudah satu minggu Nizar cuti sakit, ia harus merawat lukanya. Tujuh jahitan di tangan kiri itu selalu mengingatkannya pada Fandi. Dengan begitu ia semakin kesal dengan Fandi.