Lembayung senja memantulkan sinarnya pada danau Situ Gintung. Nizar duduk di tepian. Memeluk lutut sembari mengamati pantulan berwarna oranye itu. Banyaknya orang berlalu-lalang tak membuat Nizar merasa damai. Ia gelisah mengingat cerita dari Yahya kemarin.
[Mas, aku pengen nelpon ibuk.] Nizar mengirim pesan pada Yahya.
[Ya telepon aja, Zar. Tapi maaf, ini aku baru pulang dari sawah. Sampean telepon aja, di rumah ibukku ada wifi kok.]
Nizar pun mengetikkan kata ‘Ibu’ di pencarian kontak. Ia meragu. Apa yang akan dikatakan pada ibunya nanti? Bagaimana jika ia kehabisan topik?
Pantulan sinar matahari di danau sedikit menenangkan hatinya. Ia menarik napas berulang kali sebelum akhirnya mengeklik simbol telepon di nomor ibunya.
“Halo.” Ibunya lebih dahulu menyapa. Suaranya terdengar serak.
“Halo, Buk.” Nizar masih bingung tentang topik apa yang akan ia bicarakan.
“Gimana kabarnya? Sehat, Le?”
Pertanyaan itu membuat Nizar terharu. Kalaupun itu hanya basa-basi, baginya kalimat tersebut menyentuh hati. Sebab dari sekian banyaknya manusia, hanya ibunya yang bertanya demikian.
“Alhamdulillah sehat, Bu.” Nizar berdusta. Baru pagi tadi ia menemui dokter untuk melepas jahitan. Lukanya sudah mengering, tetapi tidak dengan hatinya yang masih diliputi rasa kalut.
“Le, maafin ibuk, ya.” Suara serak ibunya berbaur dengan hiruk-pikuk orang yang menikmati senja.
Hati Nizar menciut mendengar ibunya tiba-tiba meminta maaf. “Minta maaf apa to, Buk? Ibuk ga salah apa-apa.”
“Ibuk minta maaf karena bercerai sama Bapak.”
Keramaian yang ada seolah menghilang tanpa jejak. Lengang. Di telinganya hanya terdengar permintaan maaf dari sang Ibu. Para muda-mudi yang wira-wiri ke sana kemari bagaikan hiasan saja bagi Nizar. Ia merasa seperti berada dalam dimensi lain.
“Buk, ibuk nggak salah. Ibuk jangan merasa bertanggung jawab atas perbuatan Bapak. Di sini Bapak yang salah, Buk. Bukan ibuk.” Nizar meyakinkan ibunya dengan suara bergetar. Ia yakin dirinya pasti akan memeluk sang Ibu apabila tengah berhadapan langsung.
Ibunya tak menjawab, hanya terdengar suara isakan tangis. Nizar merasakan suatu hal yang sulit dideskripsikan. Hatinya terluka mendengar tangisan itu.
“Buk, seharusnya aku yang minta maaf. Maafin aku karena membenci ibuk tanpa tahu kenyataan. Maafin aku karena belum bisa pulang di saat ibuk butuh aku.” Suara Nizar melemah, ia tak lagi peduli dengan tatapan orang-orang. Baginya ia sedang berada dalam kotak kedap suara.
“Ibuk nggak mempermasalahkan itu, Le. Ibuk Cuma pengen kamu bahagia, itu aja. Ibuk takut kalau kamu sedih karena Bapak sama Ibuk cerai.”
Baru kali ini Nizar berbicara dari hati ke hati dengan sang Ibu. Sebelumnya, mereka hanya saling basa-basi tanpa ada canda tawa.
“Buk, aku bahagia diasuh sama Mbah Putri.”
Isakan tangis ibunya kembali terdengar. “Maaf karena ibuk justru menitipkan kamu ke Mbah Putri. Maafin ibuk.”