[Pelacur, ya lo? Tidur sama siapa aja lo selama ini?]
Pesan itu menohok hati Sherin, ia tak menyangka Reza menanggapi demikian. Yang membuat Sherin semakin sedih adalah, ia yakin bahwa Reza pasti mengetahui siapa ayah dari janin yang dikandungnya. Sementara itu, Reza malah memaki Sherin.
[Lo punya pacar kan sewaktu dijodohin dengan gue?]
Sherin tersentak, kebohongannya terbongkar. Ia tak bisa mengelak lagi.
[Gue udah tau kalau lo nipu gue sebelum kita tukar cincin.]
Diingat-ingatnya hari di mana mereka menukarkan cincin yang kebesaran. Hari itu juga Sherin tertipu bujuk rayu Reza.
[Sekarang sudah impas.]
Sherin menyalahkan diri sendiri, ia menjambak-jambak rambutnya. Tak berani ia teriak walau ingin.
[Lo gugurin aja. Inget! Jangan berani-beraninya lo bilang kalau itu anak gue. Atau gue sakitin keluarga lo. Jangan pernah nyebut nama gue!]
[Lo harus bertanggung jawab.] Hanya itu pesan yang Sherin kirimkan dan menjadi akhir dari percakapan mereka. Ia mencoba mengirim pesan lagi, tetapi hanya centang satu.
Sherin merasakan kekalutan yang luar biasa. Sampai tak sadar jika kamarnya yang biasanya sejuk justru terasa panas, pendingin ruangan lupa tak ia nyalakan. Bahkan lampu kamar pun tak ia hidupkan dan Sherin membiarkan dirinya menangis dalam kegelapan.
Saat ini ia tengah mengandung, yang mana di fase ini, para perempuan dimanja dan diperhatikan sedemikian detail. Sementara dirinya malah berada di ambang kehancuran. Reza menggoreskan kenangan buruk di detik-detik menuju pernikahan yang diimpikan Sherin.
Diam-diam Sherin merindukan Nizar, perasaan bersalah menyeruak begitu saja. Menciptakan tangisan yang hebat dalam ruang gelap nan gulita itu. Sherin membekap mulutnya sendiri kuat-kuat, padahal meski ia menyembunyikan semuanya, Reza kini sedang melancarkan aksi.
Laki-laki itu berbangga diri karena telah berhasil melaporkan segalanya pada Ayah Sherin, tentunya dengan bumbu-bumbu tipuan dan dusta.
Dini hari, Sherin terbangun sebab mendengar bunyi ketukan pintu. Ruang kamarnya masih gelap gulita. Ia meraba-raba ponsel dan menyalakan senter. Setengah sadar, ia berjalan menuju pintu. Setelah menangis rupanya ia tertidur dan melewatkan makan malam.
Di depan kamarnya, ayahnya menunggu dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tiba-tiba sang Ayah memperlihatkan ponsel yang layarnya tengah menyala. Terdapat obrolan antara Reza dan ayahnya di sana.
Sherin berdebar-debar, rasa mual kembali datang. Namun ia berusaha menahannya dan tetap membaca isi obrolan tersebut.
[Pak, pernikahan ini saya batalkan saja.] Begitu Reza mengawali percakapan.
[Loh? Jangan main-main kamu! Apa maksudmu?]