"Bundaa!" tangisku meledak saat Bunda jatuh tersungkur ke jalan karena terlalu cepat berlari dan tidak memperhatikan jalan di depannya. Padahal jalan itu bukan jalan beraspal mulus, melainkan jalanan yang dipenuhi oleh batu kerikil.
Aku membantu Bunda berdiri. Beliau hanya meringis pelan. Padahal aku tau, rasanya pasti sangat sakit. Tapi utung saja lukanya tidak terlalu parah.
"Lari lagi Azna, ayo!" dengan langkah yang sedikit pincang, Bunda memaksakan diri untuk terus berlari. Aku ingin membantah, namun aku tau, situasi saat ini sedang genting, jadi aku kembali mengangguk pasrah, lantas berlari—tapi tidak secepat tadi.
"Ayo Azna, lebih cepat!" ucap Bunda.
"Iya Nda." sahutku.
Kami terus saja berlari, hingga tak terasa sudah jauh sekali meninggalkan kebun. Langkah Bunda juga sudah mulai memelan saat sudah mendekati rumah.
Tampak dari kejauhan beberapa tetangga keluar dari rumahnya dan mendekati rumahku—lebih tepatnya rumah dari mbahku.
Rumah mbah terdengar ramai oleh orang yang berbicara, tapi bukan mengobrol santai dan diiringi dengan tawa, melainkan suara bentakkan-bentakkan keras dari seseorang.
Air mata Bunda mulai menetes. Tapi Bunda segera menghapusnya, setauku Bunda sangat anti untuk menangis.
"Ayo cepat." Bunda mempercepat langkahnya dan tidak memperdulikan tatapan tetangga yang menatap kami dengan sinis.