Relin melempar buku catatan Bahasa Inggris-nya sehingga menimbulkan suara keras yang membuat orang-orang di sekitarnya terkesiap. Terutama pemilik meja yang terkena lemparan bukunya tersebut, yang kini menatap Relin dengan alis bertaut.
“Kenapa lo?”
“Lo yang minjem buku catetan Bahasa Inggris gue tadi, kan?” Relin menahan suaranya agar tidak menggeram.
“Oh itu, iya, kenapa?”
Relin membuang muka, mencoba sabar dengan perlakuan cowok satu itu. Setelah yakin dia tak akan terpancing dengan kelakuan cowok itu lagi, Relin mengembuskan napas dan membuka buku catatan Bahasa Inggris-nya.
“Lo kehabisan media nulis ya, sampai-sampai nyoretin tiap lembar buku gue?” tunjuk Relin dengan tampang sebal.
Cowok itu menggumamkan kata ‘oh’, lalu terkekeh.
“Kenapa ketawa? Nggak lucu, tahu, Mik!”
“Lucu, kok,” jawab cowok itu dengan wajah terhibur.
“Lucu apanya?” sahut Relin judes.
“Tuh, muka lo yang lucu kalo lagi kesel atau marah.” Mika masih tertawa. Relin mendengus, dia selalu sebal mendengar tawa ini. Kalau ditanya apa yang paling mengganggu di hidupnya, Relin akan menjawab, tawa yang keluar dari mulut Mika. Karena sesungguhnya, objek yang selalu Mika tertawakan itu adalah Relin. Emang dia kira lucu, apa?
Mikanzio Zhafir Darmawan, cowok yang dia kenal sudah hampir dua tahun saat awal masuk SMA Hayden. Mika adalah siswa yang didaulat sebagai cowok terganteng seangkatan dari mulut ke mulut. Ganteng memang iya, nggak bisa dimungkiri lagi, tapi nyebelinnya itu lho, bikin hati dongkol berat.
Relin selalu ingat kejadian awal masuk sekolah saat di ruang teater itu, kejadian-yang-nggak-perlu-dijelaskan-apa, kejadian yang membawanya ke masa-masa terburuk selama kelas X. Relin memang nggak di-bully, tapi tatapan penuh kasihan dan rasa geli selalu tercurah apabila orang-orang yang menyaksikan kejadian itu berpapasan dengannya. Relin saat itu bersumpah akan membuat Mika juga sama menderita dan menyedihkan seperti dirinya. Tapi, semuanya nggak semudah bayangan Relin karena Mika itu ternyata adalah tipe orang yang iseng dan sulit ditebak. Belum sempat Relin ngasih serangan, Mika sudah duluan menjailinya. Kalau udah begitu, Relin bisa apa, coba?
Dan, penderitaannya nggak berakhir dengan mudah begitu saja. Saat naik ke kelas XI, mereka ternyata satu kelas. Relin kira ini akan jauh lebih mudah karena dia mungkin bisa membalas dendam ke cowok itu. Tapi, Relin salah besar, aksi iseng Mika semakin menjadi-jadi dan membuat Relin pusing sendiri.
Seperti yang terjadi hari ini, Mika punya seribu satu cara untuk buat Relin naik darah.
Relin mengambil buku tulis Bahasa Inggris-nya dan meninggalkan Mika yang masih senyum-senyum sendirian di mejanya.
“Udah kelar marah-marahnya?” Baru satu langkah keluar pintu kelas, Relin langsung disambut oleh sosok Nadine yang sedang menyandar di dinding depan kelas.
“Kantin, yuk?” ajak Nadine yang dijawab Relin dengan anggukan kepala.
Relin mengaduk-ngaduk es tehnya dengan tampang bete. Suasana kantin yang ramai membuat Relin yang memang dari awal sudah pusing jadi tambah pusing. Untunglah mereka mengambil posisi duduk di sudut, tempat yang nggak terlalu padat pengunjung karena biasanya para pengunjung lebih memilih tempat duduk di tengah-tengah kantin. ‘Para pengunjung’ di sini lebih memilih duduk dekat rombongan anak-anak eksis kelas XI yang mau cari perhatian dan sensasi ke sesama penduduk kelas XI lainnya. Ya memang, kantin di Lantai 2 ini khusus untuk anak kelas XI, kantin kelas X dan XII ada pada lantai mereka masing-masing. SMA Hayden memang luas. Meskipun demikian, ukurannya yang luas ini tidak membuat orang baru atau asing yang masuk ke sekolah ini bakal kesasar karena setiap ruangan seolah tersusun rapi dan terurut dengan keterangan di atas pintunya.
“Heran deh, gue sama lo Rel, kenapa sih, lo terus kepancing emosi kalo diisengi Mika? Lo itu kan, udah kenal sama dia hampir dua tahun Rel, seharusnya lo paham betul gimana sikap dia. Kenapa juga masih lo ladenin?”
Relin melengos. “Gue kesel, Nad. Kenapa sih, tuh cowok hobi banget ngisengin gue? Kesannya kayak dia nggak ada kerjaan lain aja. Gue jadi mikir, kenapa dari seluruh cewek di Hayden, cuma gue yang diperlakuin kayak gitu?”
“Mungkin, itu cara dia supaya bisa dapet perhatian dari lo,” kata Nadine santai.
“Apa gunanya dapet perhatian dari gue? Gue tuh, sebel setiap hari diisengi kayak gitu, jadi bahan ketawaan dia, emang dikira gue ini badut?”
“Tapi, Mika nggak pernah bener-bener ngisengin lo sampai lo celaka, kan? Jadi, ya udah, anggap bercandaan aja semua tingkah laku Mika,” komentar Nadine tanpa memedulikan omelan Relin yang berasal dari hati terdalamnya itu.
Relin terdiam, mencoba mengingat-ingat. Benar kata Nadine, dia nggak pernah diisengi Mika sampai ke tahap saat itu bisa buat dirinya celaka. Malah setiap menjaili Relin, Mika akan minta maaf. Tapi, semua kata maaf itu seolah kehilangan arti. Mika selalu mengulangi perbuatannya, membuat Relin naik pitam dan rasanya ingin mencekik sumber masalahnya itu.
Dan, yang buat Relin semakin sebal, kenapa perlakuan buruk Mika itu cuma ditujukan kepadanya? Giliran sama cewek lain, tuh cowok mendadak cueeekkk banget. Wajar dong, kalau Relin nggak terima diperlakukan tidak adil begini.
“Tapi, isengnya dia itu bikin gue malu, tahu, Nad.”