When Love Walked In

Bentang Pustaka
Chapter #3

Tiga : (Bukan) Hari yang Buruk

Saat seseorang berbicara panjang lebar dengan topik yang tidak kamu sukai, di saat itulah kamu akan merasa bosan untuk mendengarkannya. Begitu pula dengan Relin, topik mengenai bela negara yang dipaparkan Bu Rosma hanya numpang lewat di telinganya, pikirannya malah melayang tak tahu arah.

Matanya berat, padahal ini masih berlangsungnya jam ketiga. Dia butuh air untuk membasuh mukanya, menghilangkan rasa kantuk karena waktu tidurnya semalam kurang dari lima jam.

Relin bertopang dagu, matanya menatap Bu Rosma yang kalau mengajar hanya diam di kursinya. Dia berlagak menyimak sambil sekali-kali menguap. Perilakunya ini sungguh tak pantas dicontoh oleh para pelajar lainnya.

Akan tetapi, kalau muka Relin nggak disentuh air, atau nggak ada sesuatu yang menarik perhatiannya, dapat dipastikan sebentar lagi Relin akan tertidur. Kasus ketiduran di kelas memang bukan hal yang baru lagi bagi Relin. Hal itu pernah beberapa kali terjadi dan berujung kena marahnya dia oleh guru, atau bahkan menjadi bahan tertawaan satu kelas. Tapi, untuk sekarang, masa bodoh kena marah atau jadi bahan tertawaan, matanya sudah tak kuasa menahan kantuk.

Nadine menyenggol lengannya tepat saat mata Relin terpejam. Relin seketika tersadar dan matanya kembali terbuka lebar.

“Jangan tidur, Bu Rosma ngelihatin,” bisik Nadine.

Relin menghela napas panjang dan menyandarkan badannya ke kursinya. Demi apa pun yang ada di muka bumi ini, dia beneran ngantuk, dia butuh pengalih perhatian sekarang juga.

Kemudian, Relin merasakan getaran ponsel dari sakunya. Dengan gerakan yang dia usahakan tidak membuat Bu Rosma curiga, Relin mengeluarkan ponselnya dan menyembunyikannya di bawah meja yang berlaci. Dia mengecek notifikasi yang masuk di ponselnya tersebut.

Satu notifikasi LINE dari Audy, salah satu anggota akustik yang merupakan pemain keyboard paling oke se-SMA Hayden.

Audy Diadara: Pulang sekolah nanti latian akustik, ini perintah dari Kak Nathan. Harus datang!

Arelin Vanya: Ok, tapi kira-kira selesainya jam berapa?

Lalu, tiba-tiba ponsel Relin ditarik paksa, tanpa bisa dia cegah, ponselnya sekarang telah berpindah ke tangan seseorang di sebelah kirinya. Mika.

Relin menatap cowok itu kesal, “Siniin handphone gue!” pinta Relin setengah berbisik, dia takut suaranya terdengar Bu Rosma.

Mika menyeringai dari bangkunya.

Ini kesempatan yang tepat untuk Mika melihat-lihat ponsel Relin. Relin melihat Mika sibuk menggeser-geser layar touchscreen ponselnya, membuat Relin jadi panik sendiri.

Gimana kalau Mika buka galeri ponselnya? Video nyanyi-nyanyi nggak jelasnya dan juga foto dirinya dengan berbagai ekspresi dari duck face sampai poker face, semua ada. Duh, jatuh sudah image-nya, Mika bakal punya banyak bahan untuk ngetawain Relin dan itu artinya hidup Relin tak akan pernah berlangsung tenang.

“Mik, siniin handphone gue!”

Mika tetap tidak peduli dan masih setia melihat-lihat benda berbentuk pipih tersebut. Relin jadi gemas dengan kelakuan cowok itu. Dia berteriak, cukup keras, “Balikin handphone gue, Mik!”

“Siapa yang main handphone di kelas?” suara dingin Bu Rosma membuat Relin menelan ludah getir.

“Relin, Bu!” jawab Mika tanpa beban.

Jantung Relin seolah menabrak tulang rusuknya sendiri.

Mampus!

“Kalian susun buku-buku ini di rak sebelah sana, jangan sampai robek, terlipat, atau semacamnya, tolong diurutkan sesuai pelajaran,” perintah Bu Indah. Orang yang diperintah cuma bisa mengangguk tanda mengerti.

Setelah Bu Indah berlalu dan kembali mengerjakan tugasnya di balik monitor yang berada di dekat pintu masuk perpustakaan, Relin mendengus, bete sekaligus sebal.

“Gara-gara lo, nih,” gumam Relin sambil mengangkut beberapa buku dengan sampul bertuliskan Sejarah Indonesia tersebut dari atas meja, lalu berjalan menuju rak yang terletak di sekat sebelahnya. Sebenarnya dia sangat malas melakukan hal ini, kalau bisa dia mau kabur saja ke UKS, numpang tidur di sana.

“Lah, salah lo juga, kali,” balas Mika tak terima. Dia mengikuti langkah Relin sambil membawa buku dengan judul sama yang tersisa di atas meja.

Relin berkacak pinggang, menatap Mika menantang. “Lo kira siapa yang tadi ngambil handphone gue seenak jidat?”

“Salahin lo juga kenapa main handphone saat pelajaran Bu Rosma.” Mika tak mau kalah.

Relin menghela napas panjang dan menyusun buku-buku yang ia pegang dengan perasaan kesal minta ampun.

Kejadian di kelas tadi berujung dihukumnya Relin dan Mika atas dasar Relin yang sudah lancang main ponsel di kelas dan Mika yang sudah membuat keributan saat pelajaran sedang berlangsung.

Hukuman yang mereka dapatkan adalah menyusun buku di perpustakaan. Setidaknya, Relin masih patut bersyukur karena Bu Rosma tidak menghukumnya berdiri di tengah lapangan, atau keluar dari kelas untuk pertemuan berikutnya. Kalau cuma nyusun buku di perpustakaan sih, gampang. Tapi, kalau nyusun bukunya bareng Mika, nah, itu lain cerita karena Relin masih dongkol berat sama cowok itu!

“Lo itu ya, iseng banget, heran gue,” Relin makin mencak-mencak.

“Gue tadi niatnya cuma mau ngingetin lo kalau main handphone pas guru lagi ngajar itu nggak boleh.” Mika masih fokus menyusun buku ke rak yang telah disiapkan

“Ngingetin nggak gitu caranya.”

“Jadi, harus gimana?”

Relin berdecak, “Udah ah, lo itu ya, gue ngomongin bukan masalah yang tadi aja, coba deh, lo noleh ke belakang, nggak kehitung, tahu, nggak, udah berapa kali lo ngisengin gue!

“Coba lo kasih alasan kenapa lo terus-terusan ngisengin gue dan merusak ketenangan hidup gue, hm?” Kini Relin berbalik agar dapat melihat wajah Mika dengan jelas, cowok itu melakukan hal yang sama.

Mereka saling tatap selama beberapa detik. Relin dapat melihat cowok itu tersenyum. Bukan senyum yang terang-terangan terukir manis di bibirnya, tapi senyum penuh arti lewat bola mata hitamnya.

“Tuh kan, nggak bisa jawab!” ucap Relin ketus. Relin mengeluh dalam hati, dia tak menyangka tatapan Mika masih memberikan efek gugup pada dirinya.

“Yang bikin gue tambah heran lagi, kenapa harus gue yang jadi korban keisengan lo itu setiap hari? Kenapa nggak Nadine, Luna, Syalia, Vaya, Tasya, atau siapa kek, semenarik apa sih, ngisengin gue tuh?” tambah Relin. Dia tidak sanggup lagi menahan kekesalan yang membuncah di hatinya saat mengingat momen bersama Mika yang selalu berakhir kesialan baginya.

“Apa sih, yang lo pikirin saat ngelihat gue? Kayak gue ini mainan apa? Orang yang bisa jadi bahan bercandaan? Atau, badut yang bisa dengan wajar bikin lo ketawa setiap hari? Dan, kadang lo sendiri nggak sadar apa efek yang lo timbulin dengan keisengan lo tersebut.”

Melihat Mika yang sepertinya malah terhibur daripada merasa bersalah membuat Relin jengah. Udah ngomong panjang lebar, tuh cowok malah nggak ngasih respons sesuai dengan yang Relin harapkan. Minta maaf, misalnya, atau berjanji nggak akan mengganggu Relin lagi untuk ke depannya.

Relin berbalik badan, hendak melanjutkan tugasnya menyusun buku, tapi sebuah tangan besar menangkap pergelangan tangannya, membuat tubuhnya berputar. Dia kembali bertatapan dengan Mika.

“Gue bingung juga kenapa bisa gitu, tapi satu hal yang pasti, gue seneng lihat lo ngomel-ngomel kayak tadi,” ucap Mika pelan, tapi jelas diiringi dengan sebuah senyum kecil penuh makna.

Bukan itu yang Relin ingin dengar. Relin mengentakkan tangannya yang dipegang oleh Mika hingga terbebas.

Relin berbalik, lagi-lagi Mika menahannya. Satu tarikan di kucir rambut yang Relin pakai membuat rambutnya yang diikat rapi jadi terurai begitu saja.

Relin menoleh ke arah Mika dengan pandangan tak terima. “Balikin kucir rambut gue!”

Mika maju, mendekati Relin dengan langkah pasti. Relin terkesiap saat kedua tangan Mika berada di sisi kepala Relin, merapikan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan akibat kucirnya yang telah diambil secara paksa barusan.

“Lo kelihatan lebih cantik gini.”

Blush. Rona merah langsung menjalar ke kedua pipi Relin. Relin mengerjap saat menyadari tangan Mika yang tadinya merapikan rambut kini beralih menjadi sebuah elusan pelan di kepalanya.

Lihat selengkapnya