Patty mengamati ibu jarinya yang terluka sambil mengisapnya, “Penahan-kertas memang tidak dirancang untuk menghantam paku payung. Aku butuh palu.”
Ucapan ini tak mendapat tanggapan. Dari pucuk tangga-pijak, Patty melirik ke bawah pada teman sekamarnya yang sedang duduk di lantai sambil menyeret keluar bantal sofa dan gorden dari kotak kain.
“Priscilla,” dia merengek, “kau tak membantu sama sekali. Pergi ke bawah dan tolong pinjamkan palu dari Peters.”
Priscilla bangkit dengan malas. “Aku yakin sudah ada lima puluh gadis yang mengincar palu itu.”
“Oh, dia menyimpan palu pribadi di saku belakangnya. Pinjam yang itu. Oh ya, Pris,” Patty memanggilnya lewat jendela di atas pintu, “minta dia menyuruh orang untuk mencabut pintu lemari dari engselnya.”
Patty duduk sejenak di pijakan paling atas dan mengamati kekacauan yang terjadi di bawah. Sebuah kursi anyaman Oriental terletak paling pinggir, beberapa macam kursi, dua meja tulis, satu dipan, sebuah meja besar, dan dua kotak kain bertebaran di tengah ruangan tersebut. Lantainya, seperti terlihat lewat kisi-kisi, beralaskan karpet hijau-rumput. Sementara gorden dan tabirnya berwarna merah tua yang tidak terlalu redup.
“Aku hampir yakin tak akan ada orang yang menyebutnya simfoni dalam warna,” ujar Patty ke arah onggokan perabot itu.
Suara ketukan terdengar di pintu.
“Masuk,” dia memanggil.
Seorang gadis muncul di ambang pintu, memakai setelan kelasi linen biru sepanjang mata kaki dengan kepangan rambut menjuntai di punggungnya. Patty terdiam menyelidik gadis itu. Si gadis mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan agak heran dan akhirnya terpaku pada pucuk tangga.
“Aku—aku mahasiswi baru,” dia gelagapan.
“Sayang,” gumam Patty dengan nada kecewa, “aku kira kamu senior, tapi...,” sambil melambaikan tangan ke arah kotak kain terdekat, “masuk saja dan duduklah. Aku perlu saran darimu. Ini ada warna hijau,” dia menyerocos, seolah-olah menyambung pembicaraan, “yang tidak terlalu jelek dengan merah, tapi coba kau jawab sejujurnya apakah hijau seperti itu bisa cocok dengan warna apa saja?”
Mahasiswi baru itu menatap Patty, lalu melihat karpet dan tersenyum ragu. “Tidak,” dia membenarkan, “rasanya tidak akan cocok.”
“Aku sudah tahu kau pasti bilang begitu!” seru Patty dengan nada lega. “Nah, menurutmu sebaiknya kita apakan karpet itu?”
Mahasiswi baru itu terperangah. “Aku—aku tak tahu, mungkin kau bisa mengangkatnya,” dia tergagap-gagap.
“Itu dia!” seru Patty. “Aku heran hal itu tak terpikir oleh kami sebelumnya.”
Seketika itu Priscilla datang lagi dengan pengumuman, “Peters adalah pria paling mencurigakan yang pernah aku kenal!” Namun, dia berhenti dengan ragu ketika melihat si mahasiswi baru.
“Priscilla,” ujar Patty dengan sengit, “aku harap kau tidak membocorkan rahasia bahwa kita sedang menghias dinding dengan permadani,”—sambil melambaikan tangan ke arah kain katun bercorak yang menggantung di pinggiran atas dinding.
“Aku sudah berusaha,” sahut Priscilla dengan rasa bersalah, “tapi dia membaca ‘permadani’ di mataku. Dia menatapku sebentar saja lalu berkata, ‘Nona pasti sudah tahu kalau peraturan di sini melarang mahasiswi menggantung permadani di dinding dan kau tak boleh memasang paku di plester. Lagipula aku yakin kau tak perlu palu.’”
“Makhluk menjijikkan!” jerit Patty.
“Tapi,” sambung Priscilla terburu-buru, “aku mampir dan meminjam palu Georgie Merriles saat kembali ke sini. Oh, aku lupa,” ia menambahkan, “Peters bilang kita tak boleh mencabut pintu lemari dari engselnya—kalau kita mencabutnya maka akan ada lima ratus gadis muda lain yang juga ingin mencabut pintu lemari mereka.
Untuk memasang lagi semuanya, butuh tenaga setengah lusin laki-laki sepanjang musim panas.”
Kening Patty berkerut merasakan pertanda buruk dan si mahasiswi baru berharap bisa mencegah tragedi domestik yang mungkin terjadi. Gadis itu bertanya dengan takut-takut, “Peters itu siapa?”
“Peters,” sahut Priscilla, “adalah pria pendek berkaki bengkok dengan janggut merah lancip, yang secara teknis bergelar penjaga gedung, tapi sebenarnya adalah penguasa gedung. Semua orang—bahkan Prexy—takut kepadanya.”
“Aku tidak,” sergah Patty, lalu dia menambahkan dengan tegas, “dan pintu itu harus dilepas, tak peduli dia mengizinkan atau tidak. Jadi aku rasa kita harus mengerjakannya sendiri.” Matanya menerawang lagi ke arah karpet dan wajahnya berbinar. “Oh, Pris, kita punya rencana baru yang apik. Temanku ini bilang dia sama sekali tak menyukai karpet itu dan menyarankan agar kita mengangkatnya, mengambil sedikit cat hitam, lalu memoles lantai. Aku setuju,” ia menyambung, “kalau lantai kayu hitam Belgia beralaskan permadani adalah satu perombakan besar.”
Priscilla melirik dengan ragu dari si mahasiswi baru lalu ke lantai. “Apa mereka mengizinkan kita berbuat begitu?”
“Percuma saja kita minta izin dari mereka,” kata Patty.
Si mahasiswi baru bangkit dengan gelisah. “Aku datang,” dia berkata dengan segan, “untuk menanyakan—maksudnya, aku tahu para gadis menyewakan buku-buku lama mereka dan aku pikir kalau kalian tidak keberatan—”
“Keberatan!” seru Patty dengan meyakinkan. “Kau boleh menyewa jiwa kami seharga lima puluh sen per semester.”
“Aku—aku perlu kamus bahasa Latin,” sahut mahasiswi baru itu, “dan gadis-gadis di kamar sebelah mengatakan mungkin kalian punya satu.”
“Satu yang masih bagus,” jawab Patty.