“Hari ini aku akan menyiapkan teh,” kata Patty dengan sopan.
“Baiklah,” sahut Priscilla sambil mengangkat bahu tak percaya.
Patty sibuk di antara dentingan barang pecah belah. “Cangkirnya agak berdebu,” ia mengamati dengan ragu.
“Lebih baik kau mencucinya,” balas Priscilla.
“Tidak,” ujar Patty, “itu terlalu merepotkan. Tolong tutup saja kerainya, lalu kita akan menyulut lilin dan lebih baik begitu saja. Masuk,” panggilnya menjawab sebuah ketukan.
Georgie Merriles, Lucille Carter, dan Bartlet Twin muncul di ambang pintu.
“Aku dengar ‘Dua P’ akan menghidangkan teh sore ini ya?” selidik Twin.
“Iya, masuklah. Aku akan menyiapkannya sendiri,” jawab Patty, “dan kalian akan lihat betapa aku jauh lebih perhatian sebagai tuan rumah ketimbang Priscilla. Sini, Twin,” dia menyambung, “kau bawa ceretnya keluar dan isi dengan air. Lucille, tolong pergi dan pinjam sedikit alkohol dari mahasiswi baru di ujung koridor. Botol kami kosong. Sebetulnya aku bisa pergi ke sana sendiri, tapi aku sudah terlalu banyak meminjam akhir-akhir ini dan mereka tak mengenalmu. Dan—oh, Georgie, tolong bantu aku ya, cepat ke toko di bawah dan belikan sedikit gula. Rasanya aku melihat sedikit uang di dalam wadah-tinta perak di meja Priscilla.”
“Kita punya sedikit gula,” sergah Priscilla. “Kemarin aku beli hampir setengah kilogram.”
“Tidak, sayangku. Jatah kita sudah habis. Aku meminjamkannya kepada Bonnie Connaught semalam. Sekalian carikan sendok juga, ya,” ia menambahkan. “Rasanya aku lihat ada di rak bawah lemari buku, di belakang buku Rudyard Kipling.”
“Dan kalau boleh aku bertanya, kau sendiri akan mengerjakan apa?” selidik Priscilla.
“Aku?” sahut Patty. “Oh, aku akan duduk di kursi empuk dan memimpin.”
Sepuluh menit kemudian para tamu sudah bertebaran di atas bantalan di kamar dan pesta siap dimulai. Ternyata mereka tak punya jeruk sitrun.
“Kau yakin?” tanya Patty dengan tak sabar.
“Habis,” sahut Priscilla yang mengintip ke dalam mangkuk wadah jeruk sitrun.
“Aku tak mau pergi ke toko lagi,” ujar Georgie.
“Tidak apa-apa,” sergah Patty dengan ramah, “kita akan baik-baik saja tanpa jeruk.” Dia sendiri tak suka jeruk sitrun. “Tujuan pesta ini bukan hanya untuk menikmati teh, tetapi juga untuk berbincang-bincang. Jangan sampai kita terganggu oleh satu kecelakaan. Begini, nona-nona muda,” ia meneruskan dengan nada seperti instruktur pemberi ceramah, “meskipun aku baru saja menumpahkan alkohol di atas gula, aku berlagak tak peduli dan berbincang santai untuk mengalihkan perhatian semua tamuku. Sikap tenang harus dipelihara di atas segala-galanya.” Patty bersandar lesu di kursinya.
“Besok adalah Hari Para Pendiri,” dia melanjutkan dengan nada santai. “Banyak tidak ya—”
“Aku jadi ingat,” sela Twin. “Kalian tak bisa berdansa dengan kakak laki-lakiku. Tadi pagi aku mendapat surat yang mengabarkan dia tak bisa datang.”
“Tidak ada yang patah, ‘kan?” tanya Patty dengan penuh simpati.
“Patah?”
“Eh—lengan, kaki, atau leher. Kecelakaan sangat sering terjadi menjelang Hari Para Pendiri.”
“Tidak. Dia pergi keluar kota untuk urusan penting.”
“Urusan penting!” Patty tergelak. “Ya ampun! Apa tak ada alasan lain?”
“Aku pikir juga itu hanya dalih,” Twin mengamini.
“Sepertinya dia mengira dirinya akan menjadi satu-satunya pria di sini, sendirian tanpa teman, dan dia harus berdansa dengan keenam ratus gadis.”
Patty menggelengkan kepala dengan sedih. “Mereka sama saja. Bukan peringatan Hari Para Pendiri namanya kalau sebagian tamu tidak mendadak sakit parah atau berurusan penting atau menghadiri pemakaman kerabat. Satu-satunya cara yang aman adalah mengundang tiga pria dan menyusun daftar acara.”
“Aku benar-benar tak percaya besok adalah Hari Para Pendiri,” ujar Priscilla. “Rasanya belum seminggu sejak kita membongkar koper sepulang liburan. Tak terasa kita akan berkemas lagi untuk Natal.”
“Iya, tak terasa juga kita akan membongkarnya lagi tiga minggu sebelum ujian mendatang,” tukas Georgie si pesimis.
“Oh, kalau begitu,” balas Patty si optimis, “tak terasa kita akan berjalan dari satu sisi panggung untuk menerima ijazah kita dan turun di sisi lain sebagai alumni baru.”
“Kemudian,” desah Georgie, “tanpa sempat memilih karier, kita akan menjadi perempuan tua yang menyuruh cucu-cucu kita untuk berdiri tegak dan berhati-hati.”
“Dan sebelum menikmati teh kita akan masuk liang kubur jika kau tak berhenti bicara dan mengawasi ceret itu,” kata Priscilla.
“Mendidih,” sahut Patty.
“Iya, sudah mendidih sepuluh menit,” tukas Priscilla.
“Panas,” ujar Patty.
“Aku rasa memang begitu,” jawab Priscilla.
“Dan masalahnya sekarang adalah bagaimana mengangkatnya tanpa kepanasan.”
“Kau memimpin hari ini, kau harus mengatasi masalahmu sendiri.”
“Ini masalah sepele,” dan Patty mengaitnya dengan ujung tongkat golf. “Nona-nona muda,” dia berkata sambil mengayunkan ceretnya, “pendidikan kuliah membekali kalian jalan keluar dari setiap kesulitan. Dan saat kalian keluar ke dunia yang sangat luas—”