When Spring Doesn't Bloom

A. Noveisha_Anya W
Chapter #1

Musim Semi yang Membeku

Kabut tipis turun perlahan dari puncak Kumgangsan. Pegunungan yang menjulang tenang, seperti penjaga bisu yang mengawasi desa kecil di bawahnya. Matahari belum muncul sempurna, tapi bayang-bayang pepohonan pinus dan cemara mulai tampak, bergoyang pelan oleh embusan angin pagi.

Ren Yeon berdiri di balik jendela kamar, mengamati langit kelabu yang menggantung. Di kejauhan, bendera merah dengan lambang bintang putih berkibar kaku di halaman sekolah rakyat. Pagi itu tampak sama seperti pagi-pagi sebelumnya—hampa, dingin, dan terlalu sunyi. Tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena hari ini adalah festival musim semi, hari yang seharusnya membawa harapan.

Tapi harapan itu sudah lama mati.

Ren menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Udara pagi menyentuh kulit wajah yang pucat, tapi tak mampu menghapus bayangan yang terus melekat dalam benaknya: pot tanah liat di halaman rumah mereka yang kini kosong. Dulu, setiap musim semi, ada seseorang yang diam-diam menaruh bunga Kimilsungia di sana—anggrek ungu yang tumbuh di antara batu dan dingin. Tahun demi tahun berlalu sudah, dan pot itu tetap tak terisi. Hampa seperti dirinya.

“Oppa kecil,” bisiknya, hampir tanpa suara, bahkan tak tahu nama asli anak laki-laki itu. Hanya mengenal lewat tawa yang menyenangkan, permainan di antara ladang ilalang, dan pertemuan-pertemuan singkat yang selalu dijaga dalam diam. Dulu mereka berjanji akan menanam bunga bersama-sama saat festival musim semi. Tapi kenyataan berkata lain, anak lelaki itu tak pernah datang. Mengubah hidup Ren selamanya.

Dari arah dapur, sayup terdengar suara mangkuk bersentuhan dengan meja kayu.

“Ren Yeon-ah,” suara ibu memanggil, pelan namun tajam. “Sarapan. Kau tak boleh terlambat hari ini.”

Ren menarik diri dari bibir jendela. Bergegas mengenakan rok panjang abu-abu dan blus putih sederhana yang sudah licin disetrika. Seperti yang diwajibkan setiap kali menghadiri acara rakyat. Di bawah rok panjangnya, ia menyelipkan selendang tua berwarna biru dongker—bukan untuk melawan dingin, tapi karena itu satu-satunya peninggalan sang ayah yang masih tersisa.

Meja makan sederhana itu hanya diisi dua mangkuk bubur jagung, sepotong lobak asin, dan teh hangat. Eun Heeso duduk tegak di ujung meja, wajahnya datar tapi matanya lelah.

“Jangan hanya menatap. Makanlah,” katanya tanpa menoleh.

Ren mengangguk kecil lalu segera duduk. Jemari rampingnya meraih sendok, lalu mengaduk bubur perlahan. Sejak dulu, ibunya selalu seperti ini—tajam, terukur, dan penuh batas. Tapi Ren tahu, di balik lapisan itu, ada luka yang belum pernah sembuh. Luka yang juga menular kepadanya.

“Festivalnya diadakan di lapangan utama tahun ini,” ujar Heeso, lebih kepada dirinya sendiri. “Mereka bilang akan ada pertunjukan paduan suara anak-anak dari Pyongyang.”

Ren hanya mengangguk kecil.

“Ibu akan mengenakan mantel biru tua, yang biasa. Jangan menatap terlalu lama pada orang lain. Jangan bicara bila tidak perlu. Dan jangan menyela jika petugas budaya sedang berbicara.”

“Iya, Eomma.”

Mereka menyelesaikan sarapan dengan cepat dalam diam. Radio kecil yang diletakkan di ambang jendela, memutar sebuah lagu rakyat yang mengalun pelan. Bercerita tentang perjuangan dan musim semi yang membangkitkan semangat bangsa. Tapi di telinga Ren, lagu itu terdengar seperti bunyi jam dinding—berputar, tapi hanya berisi bunyi tik tik tik.

Setelah merapikan meja dan mencuci kedua mangkok bubur, Eun Heeso dan putrinya mengambil buku catatan kulit lusuh dari lemari lalu menyelipkan di dalam tas kain. Ren tak pernah tahu isi buku itu, hanya hapal betul bahwa ibunya selalu membawa ke mana pun pergi. Seolah itu satu-satunya benda yang membuat perempuan paruh baya itu merasa masih hidup.

Sementara di luar, udara semakin cerah. Beberapa orang tetangga sudah berjalan kaki ke arah lapangan utama. Ren dan ibu mengikuti arus. Di sepanjang jalan, pohon-pohon sakura liar mulai menampakkan kuntum pertamanya. Tapi keindahan itu terasa pahit—seperti tersenyum di tengah kesedihan yang tak pernah reda.

Mereka berjalan melewati ladang kecil yang kini ditanami tanaman obat-obatan rakyat. Di sanalah, bertahun-tahun lalu, Ren dan “Oppa kecil” biasa bermain. Di bawah pohon cemara besar, mereka pernah berjanji akan menanam anggrek bersama saat dewasa nanti. Tapi musim semi tahun itu, benar benar menjadi hari terakhir mereka bersama, pria kecil itu tidak pernah datang. Sehingga Ren membawa luka hati sepanjang perjalanan menuju rumah. Dan ketika Ren sampai di depan pintu...

Gadis itu menelan ludah, menahan kenangan yang menerobos masuk terlalu cepat.

“Heeso! Annyong hashimnikka,” sapa seorang wanita tua sambil tersenyum lebar. Senyum yang dipaksakan, seperti kebanyakan wajah hari ini.

Eun Heeso membalas dengan anggukan kecil. “Annyong.”

Ren melirik dengan ujung mata ke arah ibunya sekilas. Paras yang tetap dingin, tapi tak lama, langkahnya melambat saat mereka melewati padang rumput kecil. Ren paham betul, ingatan ibunya sama sama memgembara ke masa lalu.

Lapangan utama di desa telah berubah menjadi panggung upacara. Bendera besar dikibarkan di menara kayu. Spanduk berisi slogan perjuangan tergantung di antara tiang-tiang bambu. Sebuah panggung kecil berdiri di tengah, dengan mikrofon dan alat pengeras suara yang menggaung terlalu keras.

Warga mulai memenuhi lapangan upacara. Raut raut wajah penuh senyum formal berdiri berjajar, sebagian di antara mereka membawa anak-anak kecil berpakaian seragam merah-putih. Mereka bertepuk tangan senang saat seorang petugas budaya naik ke atas panggung dan memberi salam hormat. Tepuk tangan itu terdengar seragam, seperti koreografi yang dipelajari sejak kecil.

Ren dan ibunya mengambil tempat duduk di barisan belakang. Ren mendapat keuntungan dari posisi itu, ia jadi bisa melihat seluruh kerumunan. Memperhatikan satu per satu wajah yang lewat, secara tak sadar berharap melihat wajah “Oppa kecil” meski sekilas. Meskipun tahu, seperti yang sudah sudah ia hanya menatap orang-orang yang tampak asing—atau mungkin ia sendiri yang sudah terlalu lama terkurung dalam ingatan.

Acara dibuka dengan pertunjukan paduan suara sekelompok anak-anak, mereka menyanyikan lagu tentang pemuda-pemudi yang setia pada tanah air dan pemimpin. Nada-nadanya tinggi, hampir menusuk. Berasal dari wajah anak-anak yang kaku, menyanyi bukan karena hati yang gembira, tapi lebih karena kewajiban yang mengikat.

“Kenapa kau terlihat seperti sedang berduka?” suara ibunya terdengar lirih di samping Ren.

Ren menggeleng. Tapi ibu terus menatapnya, lalu berkata dengan suara pelan, “Kau harus belajar tersenyum di depan orang-orang. Dunia di sini tidak memberi tempat pada mereka yang terlihat lemah.”

Kata-kata itu begitu menusuk hatinya, mengingatkan Ren bahwa semua kelemahan harus disembunyikan rapat-rapat. Bukan mengajarkan untuk perlahan membangun kekuatan. Seperti biasa ia hanya menunduk, berusaha menenangkan diri. Tapi tiba-tiba, ibu menggenggam tangannya erat—terlalu erat.

“Eomma?” Ren menoleh.

Wajah Eun Heeso tetiba kehilangan rona, pucat pasi. Mata membelalak ke satu arah—ke arah seorang pria tua berseragam cokelat yang berdiri tak jauh dari panggung. Pria itu memegang seikat bunga anggrek ungu. Wajahnya samar, berjanggut abu-abu, tapi tampak biasa saja bagi Ren.

Namun, tidak untuk ibunya.

Lihat selengkapnya