Warna biru cerah memulas Langit Pyongyang hari itu. Biru yang datar dan terlalu tenang, seperti ditarik garis dengan penggaris raksasa di tangan langit. Tidak ada awan berarak, tidak ada bayangan burung. Seolah semuanya dikurung dalam bingkai besar yang tak bisa ditembus.
Ren Yeon berdiri di halte kayu dekat kompleks pemukiman rakyat. Mengenakan seragam kerja pabrik tekstil yang warnanya sudah pudar, ia menunduk sedikit, menghindari kontak mata dengan siapa pun. Dalam sistem seperti ini, diam adalah cara paling aman untuk tetap hidup.
Setiap pagi, gadis itu naik bus nomor 12 menuju Distrik Sadong, tempat pabrik beroperasi. Pekerjaannya tidak istimewa—memeriksa pola jahitan pada pakaian sekolah rakyat yang bahkan bisa dilakukan sambil memejamkan mata. Pekerjaan yang sungguh tak menyiksa, namun rutinitas yang tidak memberi ruang bernapas seperti itulah yang memberikan tekanan tinggi.
“Ren!”
Suara itu datang dari arah belakang. Serta merta Ren menoleh. Seorang gadis berseragam medis berlari kecil menghampirinya. Wajahnya bulat, senyumnya cerah. Jang Youra—adik tiri Ren.
“Kenapa kau tidak membalas suratku?” tanya Youra, sedikit terengah.
Ren memaksakan senyum. “Aku sibuk.”
“Bahkan untuk sekadar menulis satu kalimat?”
“Aku tidak pandai berkata-kata,” jawab Ren singkat.
Youra tertawa kecil, lalu mengaitkan lengannya ke lengan Ren seperti anak kecil yang tak ingin ditolak. “Tahu tidak? Kami akan menggelar perayaan kelulusan di rumah sakit minggu depan. Ada pementasan drama juga. Kau harus datang, Noona.”
Ren tak menjawab.
“Dan... dia akan datang juga,” bisik Youra, matanya berbinar. “Sang Wook Oppa.”
Rangkaian nama yang timbulkan getar di hati, seakan menggema dalam pendengaran. Ren segera menarik lengan, pura-pura membenarkan ujung blus.
“Kenapa kau selalu bersikap seperti ini?” desah Youra, “Padahal kau dan Oppa dulu sangat dekat.”
Dulu, masa yang benar benar telah berlalu, batin Ren. Saat semuanya belum serumit sekarang. Saat Sang Wook masih datang ke rumah membawa yaksik hangat dan senyum yang menenangkan. Saat ibunya masih bisa tertawa, dan Youra belum muncul dalam hidup mereka.
“Bagaimanapun,” ujar Ren akhirnya, “semoga kau bahagia.”
Youra terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku tahu aku hanya adik tirimu. Tapi aku berharap, suatu hari, kau bisa benar-benar menerimaku.”
Ren tidak menjawab.
Bus dengan rute yang dinanti telah tiba. Mereka lalu naik bersama, kemudian duduk bersebelahan dalam diam.
Pabrik tekstil tak banyak berubah. Suasana lembab, deru mesin, dan aroma benang sintetis yang menusuk. Ren duduk di bangku kerjanya, menghadap tumpukan baju yang harus ia periksa. Di dinding, tergantung foto besar Pemimpin Agung, menatap mereka semua dengan senyum kaku.
Ren bekerja tanpa suara. Jemarinya bergerak otomatis. Layaknya pikiran yang juga tengah melayang.
Park Sang Wook akan datang ke perayaan rumah sakit. Apakah ia akan melihat Ren seperti dulu? Ataukah sekarang hanya melihatnya sebagai bagian dari masa lalu yang lebih. baik dilupakan?
Dulu, Sang Wook pernah berkata:
“Saat nanti kita tumbuh besar, aku akan selalu melindungimu.”
Tapi pada akhirnya, lelaki itu sekarang memilih untuk menjadi pelindung bagi Youra.
Bukan karena cinta, mungkin, tapi karena rasa bersalah. Atau sekadar karena tuntutan keluarga. Bukankah begitu cara dunia bekerja di tempat ini?
Sore hari, setelah jam kerja pabrik selesai, Ren mampir ke toko buku tua di Distrik Moranbong. Toko itu sunyi, hanya dijaga oleh seorang kakek yang selalu membaca koran kusam.
Ren berjalan ke rak belakang, tempat buku-buku puisi rakyat dikumpulkan. Ia membuka satu buku usang, dan di dalamnya, terselip sehelai kertas.
“Langit terlalu sempit untuk dua jiwa yang ingin bebas. Tapi kau bisa menanam mimpi di bawah tanah, agar suatu hari dapat mekar sebagai kebebasan.”
Kalimat itu tak ada dalam buku aslinya. Seseorang menulis dan menyelipkan diam-diam. Ini bukan pertama kali Ren menemukan catatan sejenis. Setiap kali ke toko ini, selalu ada catatan berbeda, dengan tulisan serupa, pasti dari orang yang sama.
Ren tidak tahu siapa penulisnya. Tapi kata-kata itu seperti suara dari luar tembok—suara yang mengerti apa yang tak bisa diucapkan.
Siapa kau? Dan kenapa kau tahu kegelisahan ini?
Seraya menyimpan kertas itu diam-diam ke dalam saku.
---
Ren pulang ke rumah dengan kepala bising tanpa bersuara—kenangan, pertanyaan, dan sepotong kalimat asing yang masih terlipat di sakunya.
“Langit terlalu sempit untuk dua jiwa yang ingin bebas…”
Jemarinya kembali meraih kertas itu, menggenggam erat sambil menatap dalam. Di kamar sempitnya yang hanya terdiri dari dinding abu-abu, satu rak buku kecil, dan meja tempat ia biasa menulis catatan harian—semua terasa seperti sangkar dengan jeruji tak kasatmata. Entah mengapa, kata-kata di atas kertas itu seolah memberi ruang. Meski baru setitik lubang di langit-langit yang selama ini mustahil ditembus.
Gadis itu duduk dan membuka catatan harian. Sebuah buku bersampul kulit merah tua—warisan ibu saat masih mengajar.
“Nama Sang Wook kembali terdengar dari bibir Youra. Aku diam, tanpa mampu berkata-kata. Namu, dalam diam, ada kisah yang belum selesai.”
Pena yang sejak tadi menari berhenti sesaat. Ren menatap halaman kosong di depan.
“Apa aku iri? Ataukah aku kecewa? Mungkin, hanya lelah menunggu sesuatu yang bahkan tak pernah dijanjikan?”
Seakan tanpa dituntun, ia menulis keinginan yang selama ini dipendam dalam dalam.