"Ale." Lana mencoba memanggil laki-laki yang tengah duduk di bangku taman depan kamar ICU. Laki-laki itu berdiri berjalan ke arah kami.
"Terimakasih kalian sudah mau datang." Ucapnya setelah ia berdiri tepat di hadapan kami.
"Bagaimana keadaan Are?" Ucap Lana tanpa basa basi.
"Dia masih belum seratus persen sadar, hanya sesekali mengigau dan namamu Ruth yang selalu dia ucapkan." Ale menatapku penuh makna. Aku memalingkan wajahku dengan segera. Hatiku semakin terasa sakit.
Memandang Ale bukan berarti seperti memandang Are, mereka sangat berbeda. Ale dan Are memang kembar tapi mereka tidak identik, hanya postur tubuh mereka yang mirip untuk wajah mereka berbeda sekali. Are mirip papanya sedangkan Ale mirip mamanya.
"Mau duduk dulu? Ini belum waktunya jam besuk setengah jam lagi baru boleh masuk." Ale menawarkan sebuah bangku yang tadi telah ia duduki. Kami mengikuti langkah kakinya.
"Lana kamu apa kabar?" Tanya Ale memulai percakapan.
"Masih perlu dijawab?" Jawab Lana ketus yang aku yakini pasti itu adalah cara untuk menyembunyikan perasaan gugupnya. Aku yakin bertemu Ale dengan cara seperti ini bukan cara yang mudah.
"Maaf ya Lana. Aku harus merepotkanmu, aku tidak tahu lagi harus mencari Ruth dengan cara apa. Sudah seminggu Are terbaring di rumah sakit dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk menemui Ruth." Aku dan Lana masih membisu mendengar pernyataan Ale.
"Aku berusaha bertanya alamat rumah barumu Ruth ke teman-temanmu tapi semua akses tertutup. Semua temanmu melindungimu. Kami memang bajingan. Kami telah melukai kalian. Maaf." Suara Ale terdengar parau.
"Maafkan aku Lana. Maafkan Are Ruth." Kulihat Lana ikut menangis yang kemudian ia susul dengan memeluk Ale.
Aku tidak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Kenapa ini semua harus menimpa kami. Terlebih menimpaku. Aku sudah cukup baik-baik saja tanpa kehadiran Are tapi kenapa dia muncul kembali membawa kenyataan yang lebih sakit.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya, Al?" Aku berusaha sebaik mungkin menahan isakku.
"Malam itu Are bertengkar hebat dengan papa. Papa meminta Are untuk berhenti bermain musik. Katanya tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang pemusik. Are cuma bisa minta uang sama mama padahal nggak pernah pulang ke rumah. Seharusnya Are menggunakan ijazahnya untuk meneruskan bisnis papa." Ale berusaha mengingat kejadian malam itu.
Memang benar mimpi Are adalah menjadi seorang musisi. Baginya gitar dan suaranya adalah hal yang paling berharga di hidupnya, lebih berharga dari aku waktu itu. Saat bersamaku Are sudah tidak akur dengan papanya. Dia tidak mau tinggal di rumah, dia hanya mau meneruskan kuliahnya sesuai dengan jurusan yang diminta papanya, yaitu jurusan bisnis hanya agar uang sakunya tidak diputus oleh papanya.
Diam-diam Are menyiapkan amunisi balas dendam untuk papanya. Are menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik di angkatannya saat itu kemudian melemparkan ijazah di hadapan papanya kemudian dia pergi dari rumah untuk tetap bermusik dengan mengandalkan uang yang dia tabung. Karena katanya ada yang ingin mengorbitkannya.
Aku menentang keinginannya itu. Aku bilang itu tidak realistis. 'Kenapa dia tidak tetap melanjutkan bisnis papanya dan tetap bermusik?'
Katanya itu semua tidak mungkin dilakukan karena papanya tidak akan membiarkan ia bermusik bagaimanapun keadaannya. Karena bisnis photography adalah hal yang paling penting bagi papanya. Semenjak kejadian itu kami sering bertengkar. Katanya aku semakin mirip papanya.
Aku hanya berusaha membuat Are tersadar jika dia tidak terlahir menjadi seorang pemusik. Bakat yang dia miliki tidak sebanding dengan kesempatan yang ada saat itu. Aku hanya ingin dia sadar jika realita yang pahit baginya itu bisa diubah menjadi sesuatu yang menyenangkan tergantung dari bagaimana dia menyikapinya, tapi dia malah memilih untuk mencari orang lain yang mendukung jalannya, mencari wanita lain yang mau untuk mengikuti langkahnya. Meninggalkanku dengan sengaja. Semenjak kepergiannya aku memang memutus semua akses untuk mereka berdua.
"Aku mengejar Are saat dia ingin pergi. Aku memaksanya untuk tetap tinggal di rumah karena hujan deras tapi dia menolak. Akhirnya aku memaksa untuk ikut dengannya."
"Di mobil dia mengatakan betapa ia menyesal telah meninggalkanmu Ruth, harusnya dia mengikuti saranmu untuk tetap menurut pada papa karena orang yang bilang akan mengorbitkannya ternyata seorang penipu. Uang Are habis dilarikannya. Are cukup malu untuk mengaku kepada papa. Are cuma bisa meminta tolong ke mama untuk membantunya bertahan hidup." Aku Setengah percaya dengan apa yang Ale ucapkan.
"Di mobil lagi-lagi Are mengutuki dirinya sendiri yang terlalu bodoh karena meninggalkanmu dan terus menerus menuruti egonya." Ale terlihat menarik nafas panjang.
"Semakin dia marah semakin ia tekan pedal gas, kami melaju dengan kecepatan tinggi. Aku mencoba memperingatkannya agar berhati-hati Karen hujan deras, tapi dia malah menambah kecepatan. Tiba-tiba di depan kami ada motor yang ingin memotong jalan secara mendadak Are membanting stir karena kaget. Kami menabrak sebuah pohon besar. Aku tidak sadar sesaat setelah kejadian itu." Aku mengamati Ale, benar terlihat Ada bekas luka di beberapa area wajah dan tangannya."
"Keluarga Areno Abimana" seketika kami membalik badan mendengar seorang perawat menyebut nama Are. Ale langsung sigap mendatangi perawat itu. Aku tidak bisa mencuri dengar apa yang mereka ucapkan.
"Kamu baik-baik saja Ruth?" Ucap Lana memecah fokusku pada Ale dan perawat itu.
Aku hanya bisa mengangguk kemudian berbalik bertanya pada Lana "Apa kamu juga baik-baik saja Lana?"