When The Chance Comes

Yunita Dwi Larasati Nugroho
Chapter #4

Aku ingin Tuhan berkata iya

Hari ini hari terakhir Are di rumah sakit. Sudah tiga hari ini aku menemaninya keadaannya jauh lebih baik. Dia sudah bisa berjalan dengan kruk dan makan, hanya tangannya yang masih harus dibelat.

Hubungan Are dan papanya juga sudah membaik kulihat beberapa Kali mereka asyik bercengkrama dan syukurlah aku juga diterima oleh keluarga Are walau aku tidak secantik Annet. Orang pendek macam aku ngga bisa dibandingin sama model. Pokoknya Anet itu luar biasa looknya.

Ngomong-ngomong soal Annet Aku jadi kepikiran Lana. Sudah tiga hari Aku ngga ketemu dia. Kami masih bertukar pesan lewat chat tapi dia benar-benar menolak untuk menemaniku ke rumah sakit. 'Apa Karena dia sudah malas bertemu Ale?' dari pada semua kemungkinan itu Aku lebih khawatir jika Lana benar-benar pulang ke Malang tanpa berpamitan dengan kami. Aku menghapus semua kemungkinan itu.

"Kamu kenapa?" Tanya Ale yang sedang mengamatiku tengah melamun.

"Hah? Nggak papa." Ucapku spontan

"Yakin?" Tanyanya lagi. Kami berdua sedang menunggu Are di depan ruang physiotherapy, Are ada latihan berjalan di ruang itu.

"Hmm. Al."

"Yah?"

"Kamu masih chatting an sama Lana ngga?" Ale hanya menggeleng.

"Hmmm.. pas kamu ninggalin Lana di rumah sakit itu bener ya kamu ketemu sama Annet?" Ale menanggapiku dengan anggukan.

"Kenapa, Ruth. Kamu ingin memakiku karena membuat Lana Sedih?"

"Nggak ada gunanya. Memakimu ngga ngebuat perasaan Lana membaik." Aku menghela nafas panjang.

"Ada hal yang sebenarnya Aku takutin dari Lana."

"Apa?" Tanya Ale cepat.

"Dia pulang ke Malang tanpa pamitan sama Kita." Ale mengerutkan dahinya.

"Jadi Lana pernah bilang ke aku kalau Are sembuh dan kalian ngga balikan, dia mau balik ke Malang. Dia bakal setuju buat dijodohin sama ortunya." Ada perasaan berat saat aku menceritakan ini pada Ale. Aku kaget mendapati Ale mematung mendengar ceritaku.

"Kamu nggak papa?" Ale merasa tidak perlu menjawab pertanyaaanku dia langsung mengambil telponnya dan memencet nomor entah siapa.

"Halo." Ucapnya marah.

"Katakan kamu dimana sekarang!"

"Kamu nggak bisa pergi gitu aja tanpa pamitan sama kami, Lana!" Aku kaget mendengar nama yang diucapkan Ale.

"Kamu ngga bisa pergi seperti itu." Ucapnya lagi. Aku mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.

"Apa alasannya kamu pergi?" Aku mendengar Lana tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Katakan!" Bentak Ale.

"Tentu karenamu." Ucap Lana enteng.

"Kalau kamu minta Aku untuk berpamitan. Baiklah akan aku lakukan." Ucap Lana lagi.

"Al, aku balik ke Malang ya. Sampai ketemu taun depan di pernikahanku." Ucapnya dengan suara parau.

"Nggak. Kamu ngga boleh nglakuin itu."

"Udah ngga ada gunanya Al. Kamu ngga bisa nglepasin Annet. Aku ngga mau buang waktuku untuk terus berharap sama kamu."

"Udah ya Al. Aku mau ngomong sama Ruth. Mana dia?" Ale menyerahkan telponnya padaku.

"Halo Ruth." Mendengar suaranya aku malah menangis.

"Hei. Kamu kok nangis? Masak Aku sekarang gantiin posisinya Are bikin kamu nangis?" Ledeknya. Aku tidak Punya tenaga untuk menanggapi leluconnya.

"Salam buat Are ya Ruth. Semoga kalian selalu bahagia. Maaf sering ngrepotin kamu selama ini terlebih karena masalahku sama Ale." Aku semakin terisak mendengar ucapan Lana.

"Jangan Sedih. Kita masih bakal ketemu lagi. Kalo aku undang ke pernikahanku dateng loh ya. Tapi ongkosnya sendiri." Aku mendengar Lana tertawa, Aku hanya bisa mengangguk sambil menghapus air mataku.

"Hati-hati ya Lana. Terimakasih untuk selama ini. Aku dan rumahku akan selalu terbuka untukmu"

"Terimakasih." Ucapnya mengakhiri telpon.

Aku mengembalikan telpon Ale tapi tidak ia gubris. Aku belum pernah melihat Ale semarah ini. Ia terus-terusan mengutukki dirinya sendiri.

"Apa gunanya kamu kayak gitu?" Ucapku pada Ale.

"Nggak guna tau nggak! Kamu mau memperjuangin dia apa gimana?"

"Aku cinta Annet, Ruth. Tapi Aku juga sayang sama Lana." Mendengar ucapan Ale Aku menamparnya keras. Ale syok dengan apa yang kulakukan.

"Denger ya Al! Kalau kamu masih milih Annet yaudah nggak usah pakek bilang sayang sama Lana. Dia terlalu berharga untuk dapet cowok kayak kamu." Amarahku meluap. Aku ngga memperdulikan jika orang-orang mulai memperhatikan kami.

"Bener. Aku emang nggak pantes buat dia." Ale pergi meninggalkanku.

Lihat selengkapnya