Lyra berlari menyusuri sebuah gang sempit di daerah sebuah taman dengan nafas tersenggal senggal. Pikirannya kalut, amarah kini tengah menguasai dirinya. Lyra sama sekali tidak memperdulikan bagaimana kondisinya sekarang. Bajunya sangat kotor, serta celana panjang jeans yang dia kenakan sobek di bagian lututnya. Darah juga mengalir dari kedua ujung pelipisnya karena kecelakaan yang dia alamai beberapa saat lalu karena benturan sebuah benda keras. Lyra yakin, kecelakaan itu di sengaja. Dirinya memang sedang di incar saat ini, dan orang itu pasti menghalalkan segala cara agar Lyra tidak bisa sampai di tujuannya.
Sebuah bangun besar dan megah berdiri kokoh di hadapan Lyra. Bangunan itu terlihat tua, bahkan tidak berpenghuni. Banyak daun-daun jatuh berguguran dari sebuah pohon besar yang tumbuh di sebelah rumah itu. Lyra mencoba mengatur nafasnya kembali, kini dirinya diliputi perasaan tercekam. Meskipun amarahnya lebih dominan, namun tetap saja Lyra tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya.
Lyra perlahan mencoba untuk bergerak dari posisinya berdiri. Di bukanya gerbang tua yang berkarat itu dengan perlahan, dan menimbulkan bunyi decitan. Lyra berjalan perlahan menuju pintu utama. Tubuh Lyra gemetar hebat. Keringat mengucur deras bercampur dengan darah yang masih mengalir di pelipisnya. Pikirannya berkecamuk membayangkan hal pertama apa yang akan dia lihat saat membuka pintu rumah itu. Jujur saja, Lyra sangat takut. Kini dirinya sendiri. Hanya sendiri tanpa ada satu orang pun yang bisa menolongnya jika dia dalam bahaya.
Seseorang yang menghubunginya beberapa jam lalu memang meminta Lyra untuk menuju sebuah tempat yang di maksud tanpa membawa orang lain. Hanya Lyra sendiri. Awalnya Lyra tentu saja acuh dengan permintaan itu, bahkan tidak di pedulikannya ancaman yang orang itu katakan pada Lyra. Namun, sesaat kemudian Lyra mendengar sebuah suara di ujung telephon yang sangat familiar baginya.
Tubuh Lyra menegang seketika saat di dengarnya suara itu merintih kesakitan. Tentu saja, tanpa pikir panjang Lyra bergegas menuju tempat yang di maksud dengan amarah yang sudah memuncak di dalam dirinya, dan Lyra berjanji akan membunuh siapa saja yang berani menyentuh meskipun hanya sedikit saja bagian dari tubuh dari suara yang Lyra kenal itu.
Dan akhirnya, berakhirlah Lyra di sini. Di sebuah bagunan tua tak berpenghuni. Lyra memegang gagang pintu, lalu mulai mendorong pintu kedalam dengan perlahan. Hanya gelap. Itu yang Lyra lihat. Namun sekejab, sebuah lampu menyala dan menyorot sebuah objek yang tengah terduduk di sebuah kursi dengan kondisi tangan dan kakinya yang terikat. Sosok itu menunduk. Bisa Lyra lihat, ada darah segar yang mengalir di bagian pipinya.
Lyra berjalan perlahan mendekati sosok itu. Namun dengan tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berjalan keluar dari persembunyian dan berhasil membuat Lyra menghentikan langkahnya.
“ Ternyata kau datang juga.” Kata laki-laki itu menyeringai kearah Lyra.
Lyra menatap tajam laki-laki yang sekarang berdiri sejauh dua meter di hadapannya itu. Kedua tangan Lyra terkepal di sisi tubuhnya.
“ Ternyata benar, pria ini sangat berharga untukmu Lyra.”
“ Apa maumu?” tanya Lyra geram.
Lelaki itu tertawa sarkas lalu menatap tajam Lyra, “ Bukan aku yang menginginkan sesuatu darimu. Tapi seseorang yang menyuruhku yang menginginkannya.”
“ Katakan, apa maunya. Jangan bermain-main denganku.” Hardik Lyra tajam.
Laki-laki itu tidak langsung menjawab pertanyaan Lyra. Dirinya bergerak mendekati seorang sandera yang sudah di sekapnya itu. Laki-laki itu mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Lyra, yang mengamati gerak gerik laki-laki itu kontan terkesiap saat menyadari bahwa laki-laki itu akan melakukan sesuatu hal yang bodoh yang ada di pikirannya.
“ Jangan mendekat.” Kata laki-laki itu tajam saat Lyra mencoba melangkahkan kakinya mendekat. “ Jika kau mendekat, akan ku pastikan kau tidak akan pernah melihatnya lagi.”
Tangan Lyra semakin terkepal kuat. Amarah sudah sangat menguasai dirinya. Lyra ingin sekali lari kearah laki-laki itu dan langsung membunuhnya dengan tangannya sendiri. Namun akal sehat Lyra masih berfungsi untuk mengingatkan Lyra bahwa untuk sekarang ini ada nyawa lain yang terancam jika Lyra tetap nekat untuk mendekat.
“ Coba lihat kedepan siapa yang datang.” Laki-laki itu berbisik tepat di telinga sandera. Menurut. Perlahan, laki-laki yang menjadi sandera itu mulai mengangkat kepalanya. Sesaat mata laki-laki yang menjadi sandera itu bertemu dengan mata Lyra. Laki-laki itu tersenyum tipis saat di lihatnya Lyra sedang berdiri di hadapannya.
“ Lyra…” gumam laki-laki itu lemah di sisa-sisa tenaga yang dimilikinya saat ini.
Mata Lyra terbelalak. Dugannya benar. Laki-laki yang merintih kesakitan di telephon tadi adalah dia. Laki-laki yang sangat di cintai Lyra. Rafael . Kekasih sekaligus tunangan Lyra.