“ Apa rencanamu selanjutnya Lyra?”
Lyra sedang mengutak atik laptop yang ada di hadapannya dengan serius, mengabaikan pertanyaan Hyera. Gadis itu tenggelam dengan semua rencana yang sebenarnya sudah sangat di susun dengan rapi selama beberapa hari ini, dan siap melakukan serangan dengan waktu yang sudah Lyra tentukan sebelumnya. Namun rencana itu gagal total, dan harus di susun ulang secepatnya, mengingat kejadian semalam sudah membuktikan jika musuh Lyra sudah bergerak. Dirinya tidak ingin terlambat lagi. Lyra tidak ingin kehilangan lagi.
Hyera hanya bisa mendengus pasrah, karena lagi-lagi pertanyaan yang sudah dia lontarkan lebih dari tiga kali itu kembali tidak di indahkan oleh Lyra. Hyera menatap Lyra lekat, meskipun gadis di hadapannya ini tidak menyadarinya. Seulas senyum tipis tersungging di bibir Hyera. Melihat Lyra yang selalu bersungguh sungguh, membuat Hyera bangga dengan gadis itu. Umur Lyra pun masih di bawah Hyera, tapi entah mengapa sikap Lyra bisa lebih dewasa dari pada Hyera.
Kadang Hyera berfikir, bagaimana caranya gadis itu masih bisa bertahan hidup sampai sekarang, mengingat bagaimana hancurnya kehidupan Lyra setelah kematian Rafael. Masih terekam jelas di memory Hyera, saat melihat Lyra begitu depresi dengan kematian kekasihnya. Cacian dan tuduhan yang tidak akan pernah ada habisnya selalu di lontarkan dengan sangat kejam pada Lyra. Di tuduh sebagai seorang pembunuh oleh ibu dari kekasihnya sendiri. Bahkan Lyra sempat ingin melakukan tindakan bunuh diri sehari setelah kematian Rafael, beruntung, Marcell dan Jason bisa datang lebih cepat saat itu ke apartemen Lyra, sebelum gadis itu menyayat urat nadinya sendiri.
Setelah kejadian itu, Marcell membawa Lyra pergi jauh dari Seoul. Lyra seperti di asingkan, di sebuah kota terpencil di Austria, Marcell meninggalkan Lyra bersama Hyera di sana. Hyera yang selalu menemani Lyra menjalani terapinya dengan psikiater. Cukup sulit untuk menghilangkan trauma yang Lyra alami atas kejadian itu, bahkan saat awal-awal terapi Lyra selalu berontak dan mengamuk dengan histeris, membanting apa saja yang ada di sekitarnya. Namun, lambat laun, dengan kesabaran Hyera yang selalu membujuk Lyra dengan segala usahanya, akhirnya bisa membuahkan hasil. dua tahun kemudian, Lyra di nyatakan sembuh dari traumanya. Meskipun Lyra masih sering bercerita pada Hyera, jika baying-bayang kejadian kelam itu selalu menghantui Lyra, tapi Lyra masih bisa mengendalikan dirinya.
“ Eonni?”
Hyera tersentak saat tangan Lyra mengibas-ngibas di depan wajahnya. Hyera mengerjabkan matanya, “ Ada apa?”
“ Lagi-lagi kau melamun.” Kata Lyra.
Hyera menggeleng, “ Aku tidak melamun.” Jawabnya sambil tersenyum.
Lyra menghembuskan nafasnya kasar, lalu perlahan menyandarkan punggungnya kesandaran kursi, “ Jika tidak melamun lalu apa? Melihat wajahku, begitu?”
“ Hmm..” Hyera hanya berdehem sebagai jawaban.
“ Eonni ini..” Lyra menggeleng gelengkan kepalanya, “ Aku sudah selesai.” Lanjutnya.
Hyera terkejut, lalu menatap Lyra dengan lekat, “ Lalu, bagaimana?”
“ Aku sudah berhasil meretas semua data-data dari orang itu, dan mengirimnya pada Jason. Jika tidak ada kendala, kita akan menemuinya besok, kemudian langsung membawanya ke kantor polisi. Menyerahkan semua bukti yang sudah kita dapat. Seperti kata Eonni, aku akan bermain bersih kali ini. ” jelas Lyra mantab.
Hyera menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum lebar. “ Aku bangga padamu.”
“ Aku yang seharusnya bangga padamu.” Lyra menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya, “ Terima kasih, sudah selalu ada disisiku selama ini. Membantuku untuk sembuh, menghilangkan traumaku, selalu membujukku dengan sabar untuk terus mengikuti terapi. Meyakinkan ku, bahwa semua yang terjadi bukan murni kesalahan dariku. Bahkan Marcell dan Jason saja tidak sanggup menghadapi ku kala itu. Tapi kau bisa. Entah apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak ada di samping ku saat-saat masa kelamku dulu. Mungkin aku sudah bersama Rafael sekarang.”
Tanpa sadar, sebulir air mata jatuh membasahi pipi mulus Lyra. Hyera yang melihat hal itu, langsung menggenggam tangan Lyra, “ Lyra..” Hyera memandang Lyra sendu, “ Jika bukan karena Marcell yang menyelamatkanku waktu itu, aku juga tidak akan ada di sini bersamamu. Mungkin aku sudah menjadi gelandangan di luar sana. Aku sangat berhutang budi pada Marcell karena sudah sudi membawa ku dan adikku pergi dengan dirinya saat malam itu, bahkan Marcell menanggung semuanya. Biaya hidup ku, bahkan tempat tinggal juga. Kurasa dengan apa yang aku lakukan sekarang, tidak seberapa dengan apa yang pernah dia berikan padaku selama ini. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah bersama dirimu. Melindungimu, menjagamu, memastikan tidak ada seorang pun yang bisa menyakitimu. Hanya itu yang bisa aku janjikan pada Marcell.” Kedua mata Hyera juga terasa panas dengan tiba-tiba, tapi wanita tu berusaha untuk tidak menangis di hadapan Lyra. Hyera ingin menjadi penguat untuk Lyra.
“ Kau tau Eonni, kadang aku berfikir untuk menjodohkanmu dengan Marcell.” Kata Lyra saat pikiran itu kembali melintas di pikirannya.
“ Ya Tuhan Lyra.. Aku dan Marcell hanya berteman. Tidak lebih. Kami berdua sama-sama tidak memiliki perasaan satu sama lain.”
“ Iya aku tahu. Karena itu, niatku itu aku urungkan saat Marcell bercerita padaku bahwa dia sedang menyukai seseorang. Lebih tepatnya, dia adalah seorang gadis yang umurnya jauh di bawah Marcell. Bahkan masih di bawahku.”
Hyera membelalakkan matanya terkejut, “ Astaga, kau tidak bercanda kan Lyra?” kata Hyera sambil menutup mulutnya yang menganga lebar dengan kedua tangannya.
Lyra menggeleng yakin, “ Aku tidak bercanda. Marcell bahkan sudah menunjukkan foto gadis itu padaku. Tapi aku lupa bagaimana wajahnya. Sudah sangat lama. Yang ku ingat, gadis itu adalah seorang calon dokter, Marcell bertemu dengannya saat dirinya berada di rumah sakit menjenguk salah satu temannya. Dan kebetulan, gadis itulah yang merawat teman Marcell.”
“ Cinta pandangan pertama maksudmu?” Hyera tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, saat mendengar cerita Lyra. Masih adakah hal seperti itu di dunia ini? Terlebih yang mengalaminya adalah seorang Marcell. Laki-laki dingin berhati beku, yang acuh terhadap beberapa wanita yang berusaha mendekatinya.
Lyra mengendikkan bahunya, “ Seperti itulah. Aku juga tidak paham. Marcell memang sangat aneh. Aku tidak bisa menebak dirinya. Meskipun dia kakak kandungku.”
“ Semoga cinta Marcell berhasil.” Kata Hyera dengan senang.
“ Aku juga berharap begitu.” Lanjut Lyra.
Hyera memandang Lyra dengan sebuah senyuman hangat yang tersungging di bibirnya. Sepertinya membahas soal Marcell untuk saat ini memang tidak salah. Setidaknya, bahasan itu bisa sedikit membuat Lyra melupakan kekhawatirannya saat ini. Ya. Meskipun hanya sedikit.
***
“ Kita akan kemana?” kata Daniel yang duduk di kursi penumpang belakang.
Kimmy yang mendengar ucapan Daniel, sontak menoleh dan tersenyum, “ Bertemu Lyra, tentu saja.” Jawabnya lalu kembali mengalihkan pandangan menatap lurus kedepan.
Daniel hanya mengangguk mengiyakan. Menurut saja apa kata gadis yang duduk di sebelah kursi pengemudi itu. Daniel mengalihkan pandangannya, menatap keluar kaca di sebelahnya. Melihat lalu lintas kota Seoul saat siang hari. Banyaknya pejalan kaki yang berlalu lalang di sepanjang trotoar pinggir jalan, dan para pengguna kendaaran umum maupun pribadi. Seulas senyum muncul dari kedua sudut bibir Daniel. Indah.
Satu kata yang mempunyai banyak makna bagi Daniel. Ayah Daniel sering sekali mengajak Daniel untuk berkunjung ke Seoul, untuk sesekali mengecek cabang perusahaan milik ayahnya. Dan karena keterbiasaan itulah, Daniel sangat menyukai Seoul. Bahkan Daniel sendiri lah yang mengajukan permintaan ke ayahnya, jika dirinya di jadikan CEO nanti, Daniel ingin mengelola cabang perusahaan yang ada di Seoul.
Keindahan kota Seoul, semakin terlihat menakjubkan bagi Daniel, tak kala dirinya menemukan cintanya di sini. Lyra. Gadis manis yang di temuinya dalam situasi yang bisa di bilang tidak menyenangkan di bandara, namun justru pertemuan awal mereka menuntun mereka menuju benang-benang takdir yang sudah di gariskan.
Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. Cinta Daniel pada Lyra. Halangan apapun, rintangan apapun, dalam keadaan apapun. Daniel berjanji pada dirinya sendiri, Rafael, dan juga Tuhan, bahwa dirinya akan selalu berada di sisi Lyra, sampai akhir hidupnya.
CITTTT…
Tubuh Daniel tersentak ke depan, hingga kepalanya membentur sandaran kursi penumpang di depannya.
“ Keluar!!!” teriak seseorang sambil menggedor gedor kaca mobil di dekat Kimmy.
Daniel melirik kearah depan, di lihatnya seorang laki-laki sedang berusaha membuka paksa pintu mobil yang terkunci dari dalam. Daniel juga melihat raut wajah Kimmy yang ketakutan. Gadis itu merogoh tas tangannya, lalu mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar. Entah apa yang di lakukan Kimmy, tapi gadis itu seperti berusaha sedang menghubungi seseorang saat ponsel yang di genggamnya di tempelkannya ke telinga.
“ Hal..loo..” Kata Kimmy dengan suara bergetar, “ Lacak lokasiku sekarang. segeralah kesini. Aku dan Daniel dalam keadaan bahaya.” Sambungan terputus. Kimmy meletakkan ponselnya dengan kesar di dasbor mobil lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
“ Kimmy?” Daniel mencoba untuk memanggil Kimmy.
Gadis itu tidak menoleh kearah Daniel, namun dirinya menjawab pertanyaan Daniel, “ Apapun yang terjadi, jangan keluar.”
“ Tapi mereka-“
“ Aku berjanji pada Lyra untuk melindungimu. Kau harus baik-baik saja. Jangan tanyakan apapun lagi. Kau tidak akan mengerti meskipun aku menjelaskan. Ikuti saja kataku. Jangan pernah keluar dari mobil apapun yang terjadi.” Kata Kimmy final pada Daniel.
Mendengar Kimmy yang mengucapkan kalimat itu dengan lugas, membuat Daniel mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh, dan memilih bungkam dan menurut saja dengan apa yang di katakan oleh gadis itu.
“ Keluar!!!” teriak laki-laki itu lagi, “ Aku akan menghancurkan mobil ini jika kau tidak keluar!”
Daniel masih melihat Kimmy yang enggan mendengarkan perintah laki-laki itu. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan mobil yang Daniel tumpangi. Seseorang keluar dari balik kemudi. Laki-laki tinggi tegap, dengan setelan jas hitam dan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, jangan lupakan masker yang juga di gunakan untuk menutupi identitas lelaki itu. Laki-laki yang semula menggedor gedor kaca mobil Daniel, kini berjalan kearah laki-laki yang berdiri tegap di hadapan mobil Daniel lalu membisikkan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa Daniel tangkap dengan indera pendengarnya.
Hingga dengan gerakan cepat, laki-laki bertubuh tegap itu mengeluarkan pistol dari balik jas yang di pakainya lalu mengarahkan tepat kearah mobil Daniel dan Kimmy.
Deg..
Jantung Daniel berdegup kencang. Pikirannya melayang kemana-mana, membayangkan bagaimana jadinya jika laki-laki itu menarik pelatuk pistol dan benar-benar menembakkannya kearah kaca mobil.
Drrt..Drtt..
Getaran ponsel milik Kimmy menginterupsi Daniel. Dirinya bisa melihat, Kimmy yang wajahnya tiba-tiba berubah menjadi lebih pucat saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Bahkan bulir bulir keringat sudah membasahi dahi Kimmy. Dengan gerakan lambat, Kimmy mengambil ponsel miliknya lalu menekan tombol hijau, tidak lupa Kimmy menekan mode loudspeaker agar Daniel juga bisa mendengarkan apa yang di katakan sang penelephon.
“ Aku tahu kau melihatku.” Kata suara laki-lai di ujung telephon.
“ Apa maumu?” kata Kimmy dengan suara sedikit bergetar.