Aswin Tertiary Wardhanu. Itu namaku. Winter, begitu mereka memanggilku.
Entah karena itu gabungan dari nama pertama dan nama tengahku, atau karena sikap dan pembawaanku yang dingin seperti salju.
Mungkin memang aku harus bertemu si musim panas agar mencair kebekuanku. Sayang, aku belum bisa menemukan siapa si musim panas itu, sebab ada satu bayangan yang terus membuntutiku. Di angan, hati, bahkan terselip di seluruh arteri.
Rasaku mati.
Rasanya tak bisa aku mencinta lagi.
🌸🌸🌸
Dua tahun lalu.
"Mungkin kita harus menyerah, Win."
Raisa.
Raisa Kirania, yang selama lima tahun ini jadi tempatku menepikan layar rasa.
"Kamu mau nyerah setelah kita berjuang sejauh ini, Ra? Kalau emang mau nyerah, kenapa nggak dari dulu-dulu aja?" tegasku. Raisa kian sendu.
Lima tahun bersama, tak mudah untukku begitu saja melepas Raisa. Sejak di tingkat sekolah dasar, aku sudah mengenalnya.
Ya, aku dan Raisa satu SD, tapi kemudian terpisah saat SMP. Kau tahu kenapa? Karena saat SD, aku hanya bermain-main saja. Fokusku hanya pada robot gundam dan mobil tamiya. Tak seperti Raisa yang cerdas sempurna. Fix, lulus SD, Raisa masuk SMP ternama.
Kau tahu bagaimana akhirnya. Nilaiku Ujian Nasional SD-ku hancur, sehancur hatiku sekarang. Bahkan untuk bisa masuk ke sebuah SMP, papa harus memasukkanku melalui jalan titipan karena kepala sekolahnya adalah sahabat Papa, yang tak tega anak sahabatnya tak kunjung dapat sekolah juga. Papa menyumbang empat bangku sekolah untuk kompensasinya.
Menyedihkan sekali.
Sesedih rasaku kini.