"Win, hentikan, Win."
Raisa menghiba agar aku tak lagi menariknya. Wajahnya pusat pasi. Aku tak peduli. Beberapa orang kini tampak mulai curiga.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Ra. Cuma ini satu-satunya cara."
Aku berbicara, sambil terus menarik tangannya. Tak peduli jika Raisa kesakitan karenanya.
"Mas ... Mas. Sama cewek jangan kasar-kasar dong." Seseorang menepuk bahuku dan mencoba menarik lenganku.
Aku menoleh. Tampak di belakangku, sesosok tubuh tegap berbalut seragam polisi. Gagah sekali. Ah, terserah. Aku tak peduli.
Aku terus menarik Raisa. Hotel yang kutuju hanya tinggal beberapa jengkal saja. Harus kutuntaskan rencanaku segera, demi Mama berkata iya pada hubunganku dan Raisa.
"Mas! Lepasin tangan mbaknya!"
Sial. Polisi itu terus mengikutiku. Bahkan dia mulai membentakku.
Kuhentikan langkah segera, lalu kutatap tajam wajahnya. Tentu saja, dengan jemari yang masih erat memegang tangan Raisa.
"Nggak usah ikut campur ya, Mas. Dia pacar saya," jawabku, sengit.
"Yakin pacarnya? Kalau memang Mas pacarnya, kenapa harus memaksanya?" tukas polisi itu.
Ah, menyebalkan sekali. Kenapa ia harus muncul di saat seperti ini?
Bodo amat!
Aku kembali menarik paksa tangan Raisa. Tangis Raisa kini benar-benar kentara.
"Masih pacar saja sudah main kasar dan main paksa gini. Gimana kalau nanti jadi suami?"
Suara polisi itu lagi. Geramku kini kian menjadi-menjadi. Kulepaskan tangan Raisa, lalu secepat kilat aku berbalik arah, bersiap melontarkan bogem mentah.
Dan ....
Sial! Polisi itu lebih sigap rupanya. Ia berhasil menampik seranganku dengan tangan kanannya, lalu menelikung tanganku ke belakang. Aku terkunci. Seperti tak bisa bergerak lagi.