Saat warna gelap sudah menghiasi langit yang menaungi bumi, Banyu justru baru menginjakkan kedua kakinya di teras rumah. Sambil menenteng papan skateboard di tangan kanan, dia mendorong pintu jati di hadapannya menggunakan tangan kiri. Melangkah masuk, Banyu menggaruk kepala yang sukses membuat rambut hitamnya sedikit berantakan.
Baru saja pintu kembali ia tutup, sebuah seruan berat meraung tegas memecah keheningan.
“BANYU CADILAN ARKADIA, DARI MANA SAJA KAMU?”
“Oh shit,” umpatnya pelan, lalu memutar badan membelakangi pintu.
Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan dengan tubuh tinggi yang masih memperlihatkan kegagahannya, berjalan tegap memasuki ruang tamu. Tatapan itu menghunus tajam seiring langkahnya yang semakin mendekat ke arah Banyu.
“Dari mana saja kamu?" ulang Dendra yang tak lain adalah papa Banyu.
Cowok itu menghela napas pelan, "Dari rumah Farel, Pa," jawabnya sambil berjalan melewati papanya.
“Bikin ulah apa lagi kamu di sekolah?” lontar Dendra ikut berbalik menyusul langkah anaknya.
“Cuma berantem sama teman,”
“Cuma berantem kamu bilang?" seru Dendra menyalang sekaligus mengadang langkah Banyu yang berniat untuk menghampiri tangga.
Banyu kembali menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar sembari memutar bola mata.
"Banyu cuma gak suka sama orang yang doyan nge-bully temannya sendiri, Pa. Salah kalo Banyu berusaha buat balas perlakuannya dengan cara Banyu sendiri?” tukas cowok itu menatap papanya.
Dendra mengusap muka setengah frustrasi untuk beberapa saat. Lalu, dia mencoba menanggapi Banyu dengan penuh rasa sabar, “Membela teman itu memang tidak salah, tapi—“
“Cara Banyu yang salah?” potongnya seakan mengerti dengan apa yang akan papanya ungkapkan di kalimat berikutnya.
Lantas, cowok beralis tebal itu mendengkus muak, “Kalimat itu udah Banyu dengar dari Madam Virus di ruang BK tadi, Pa!” ungkapnya mendelik lelah.
Entah Dendra harus berkata apa lagi untuk membuat Banyu mengerti. Rasanya, dia sudah kehabisan kosa kata untuk sekadar membuat Banyu sadar bahwa papanya itu sudah sangat bosan menghadapi kebiasaan buruknya yang suka menyusahkan.
“Maaf, Pa ... Banyu capek, butuh istirahat,” ujarnya memutus perbincangan sepihak. Cowok itu lebih memilih pergi dari hadapan Dendra dan segera berlari kecil menaiki tangga.
Pria itu tentu saja tidak terima akan perlakuan anak sulungnya, dia pun berbalik menghadap ke arah tangga yang sudah dilalui Banyu seraya berteriak, “BANYU, Papa belum selesai bicara! Kenapa kamu selalu membuat Papa naik darah seperti ini, hah?”
Banyu tahu, melengos pergi saat pembicaraan orang tuanya belum selesai bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Tapi, Banyu lelah. Dia butuh istirahat. Terlalu banyak omelan yang sudah ia terima di sepanjang hari ini. Dimulai dari Madam Vila, wali kelas, wakil kepala sekolah yang juga ikut menegur Banyu, sampai Farel selaku sahabatnya pun turut serta mengomelinya. Siapa yang tidak akan merasa muak jika terus menerus diberi cercaan? Banyu mendadak kenyang.
Tidak di sekolah, tidak di rumah, rasanya tidak ada tempat yang bisa membuat Banyu tenang selain kamarnya. Ruangan minimalis dengan warna cat dominan abu-abu. Tempat Banyu mengistirahatkan seluruh tubuh beserta hati dan pikirannya. Ruang di mana dia bisa menumpahkan segala hal yang dirasakannya, sejenis permasalahan yang berkeliaran di kehidupannya.
***
Pagi-pagi sekali, Banyu sudah tidak ada di kamar. Calia yang berniat untuk menemui kakaknya pun terlihat kebingungan saat tidak menemukan cowok berlesung pipit itu di dalam kamar. Untuk sejenak, dia hanya berdiri di ambang pintu sambil menerka-nerka tentang pergi kemana kakaknya sepagi ini.