Mata kecilnya berbinar, terpantul dalam pandangan kosong manik Ruby itu sebuah cahaya oranye yang makin lama semakin menjangkau sudut pandangnya. Dalam kesunyian, anak laki-laki itu hanya ditemani oleh gemerlap kecil dilangit dan perahu yang terbawa arus sungai. Otaknya merespon tidak nyaman dengan suasana ini, tanpa sadar dia meneteskan air mata. Tak dapat berhenti, karena dia mengetahui alasannya lebih dari siapapun. Tatapannya penuh arti, memandang hutan asri itu sekarang sedang dilahap oleh api. Seolah api itu membakar serta bagian dirinya yang tak dapat kembali.
Gemetar, tangannya dikepal dengan kuat
“Lihat saja” gumamnya pelan
“LIHAT SAJA, AKU PASTI AKAN MEMBALAS KALIAN BEDEBAH SIALAN!!!”
Dengan suara lantang anak itu bersumpah pada semesta, amarahnya membludak, guncangan emosional membuatnya lupa diri. Dalam netra ruby itu sekarang terlihat aura membunuh yang kejam. Seandainya dia bisa memutar balikkan waktu, dia ingin kembali dalam kenangan indah itu.
***
Tawa riak gerombolan anak kecil terdengar, cuaca hari ini sangat cocok untuk menggerakkan badan. Dari kejauhan tampak sepasang mata mengawasi anak-anak itu bermain.
“Hei apa yang kalian lakukan!”
Seorang gadis kecil dengan raut kesal berteriak dari atas pohon, dia berdiri diranting pohon yang paling besar, membuatnya tidak takut kehilangan keseimbangan. Dengan cepat dia terjun dari ranting pohon itu tak ada keraguan sama sekali, membuktikan sudah menjadi kebiasaan baginya. Memarahi segerombolan bocah laki-laki yang terlihat sedikit lebih muda darinya.
“Uwwahh si pahlawan kesiangan sudah datang.” Kata salah satu bocah itu dengan poni geriginya.
“Hahahaha...penjahat kalah saatnya kaburrr!!”
Gelak tawa dari gerombolan itu terdengar sambil dengan cepat melarikan diri takut akan hantaman gadis itu.
“Hah, dasar bocah nakal. Apa kau tidak apa-apa El? mereka tidak keterlaluan kan?” Gadis itu memeriksa sekujur tubuh bocah laki-laki itu, khawatir kata yang paling tepat untuk mendeskripsikannya.
“Tenang saja aku tidak apa-apa, kak Sena terlalu berlebihan, aku tidak akan mati hanya karena ikut bermain. Lagipula aku yang mengajak mereka.”
Bocah lelaki itu tersenyum teduh, mata Ruby nya sayu dengan tatapannya yang seperti itu, tak heran jika orang lain yang melihatnya menganggap dia seperti orang sakit, ditambah kulitnya yang pucat dan warna rambut putih yang bersinar.
"Bukankah kau sendiri yang tidak tahu bagaimana kondisi tubuhmu saat ini?! Baru saja kemarin kamu pingsan karena kelelahan. Apakah El sedang dalam masa pemberontakan kak Ren?" Sena, gadis itu melipat tangannya, menatap wajah adik yang sangat dicintainya.
Suara langkah kaki itu terhenti, mendengar namanya terpanggil.
"Sudahlah, tidak ada guna kau memarahinya. Dia masih bocah, mana mungkin dia mengerti apa yang kau bicarakan." Tanpa berbalik Ren mengejek Elen, berlalu begitu saja sambil menahan tawa.
"A-AP.."