Andara
Hari ini adalah hari dimana sekolah kembali menjadi ramai. Tahun ini menjadi tahun terakhir untukku sebelum menimba ilmu di universitas. Walau begitu, tahun ini aku berpindah sekolah. Papa menyuruhku untuk berpindah sekolah yang terletak di dekat rumah kami yang lain. Oleh karena itu, mulai sekarang aku akan tinggal di rumah dekat sekolah baru ini. Selama ini, papa sering memindahkan aku ke sekolah-sekolah yang berbeda, tidak heran aku sudah terbiasa dengan perpindahan yang mendadak ini. Aku tahu bahwa papa telah mendonasi banyak sekali di sekolah ini, maka dari itu papa memindahkan ke sini. Berpindah-pindah sekolah membuatku tidak memiliki teman. Terkadang aku merasa kesepian, karena aku hanya bisa berbicara dengan Pak Reksa. Aku berharap di tahun terakhir ini aku bisa mendapat teman baru yang dapat mengisi kekosongan ini.
“Andara, sudah sampai,” kata Pak Reksa memberhentikan mobil mewah itu di depan gerbang sekolah.
“Ok Pak, makasih.”
“Nanti bapak jemput sehabis pulang sekolah ya.”
“Ok.”
Lalu aku keluar dari mobil dan berjalan masuk melewati gerbang sekolahku yang baru ini. Tidak sampai lima menit aku berjalan, lobi sekolah sudah ada di hadapanku. Aku melangkahkan kakiku, berjalan masuk menuju sekolah dan segera mencari ruang guru. Sekolah ini sangat luas, membuatku kebingungan mencari jalan ke ruang guru. Lorong-lorong sekolah dipenuhi dengan siswa-siswi yang sedang berbincang-bincang. Setelah beberapa menit, aku tidak dapat menemukan ruang guru. Mau tidak mau aku harus bertanya kepada salah seorang siswa. Aku melihat ada segerombolan siswi di dekatku berdiri dan memutuskan untuk bertanya kepada mereka.
“Hai, permisi, ruang guru ada di mana ya?”
“Oh ruang guru ada di sana,” tunjuk seorang siswi dengan rambut pendek sambil tersenyum tipis.
“Oh di situ, makasih ya,” balasku dengan senyuman.
“Sama-sama.”
Setelah mengetahui di mana ruang guru berada, aku segera meninggalkan siswi-siswi itu. Karena jam pelajaran sebentar lagi akan mulai, aku sedikit berlari menuju ruang guru. Telat di hari pertama adalah hal yang kita semua tidak inginkan bukan? Akhirnya aku sampai di depan ruang guru. Saat aku hendak membuka pintu tersebut, seseorang dari dalam sudah terlebih dahulu membuka pintu. Pintu terbuka, menampilkan perempuan cantik yang kutemui hari itu di taman. Ekspresi terkejut terpampang jelas di wajah kami berdua. Tidak kusangka, perempuan itu juga bersekolah di sini.
“Oh hai kita bertemu lagi,” sapaku memecahkan keheningan.
“Kamu, anak baru di sini? Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
“Ya, aku baru pindah tahun ini.”
“Ingin bertemu siapa?”
“Ummm aku mencari Pak Gema.”
“Pak Gema ada di situ,” jawab perempuan itu, menunjuk salah seorang guru yang sedang duduk di mejanya.
“Terima kasih,” balasku dengan senyuman.
“Sama-sama, sampai berjumpa lagi,” kata perempuan itu lalu pergi meninggalkanku.
Setelah perempuan itu keluar ruang guru, aku segera menghampiri lelaki yang ditunjuk perempuan itu. Beliau ternyata memang betul wali kelasku, Pak Gema. Beliau mengantarku ke ruang kelasku dan memperkenalkanku kepada siswa-siswi yang lain. Saat aku memperkenalkan diri, aku terkejut melihat perempuan itu duduk di bagian belakang kelas. Ia menatapku dengan ekspresi jutek, entah mengapa ia selalu menampilkan ekspresi seperti itu. Beruntung sekali aku, Pak Gema menyuruhku untuk duduk di sebelah perempuan itu. Dengan lambat, aku jalan menuju belakang kelas dan duduk di kursi kosong sebelah perempuan itu.
Hari pertama sekolah berlalu begitu cepat karena adanya bidadari cantik itu. Aku sempat berkenalan dengan beberapa siswa-siswi di kelasku. Sayangnya aku masih tidak mengetahui nama perempuan itu. Walaupun begitu, aku tetap senang karena teman-teman sekelasku sangat ramah terhadapku. Mereka tidak menjauhiku karena aku berbeda, mereka justru menghargai kekuranganku dan tidak mengasihaniku. Aku sangat bersyukur bertemu mereka, setidaknya sekarang aku memiliki orang-orang yang tidak menatapku dengan kasihan.
Selama pelajaran, aku sesekali melihat ke arah perempuan itu. Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Ada seperti suatu ikatan di antara kita yang aku tidak mengerti. Aku tidak tahu apa maksud dari perasaan ini. Aku penasaran sekali dengan perempuan itu. Ingin sekali aku bertanya kepadanya pertanyaan terbesarku, mengapa aku bisa mendengar suaranya tanpa bantuan alat bantu dengar? Hingga di rumah pun bayangannya masih terlintas di benakku.Tak terasa, hari pun sudah sore. Tiba-tiba Pak Reksa mengetuk pintu kamarku.
TOK TOK TOK
“Andara, kakakmu ada di bawah.”