Akhir-akhir ini, ada seorang polisi yang selalu ramai diperbincangkan. Baik di media televisi, cetak ataupun online. Bahkan, dia mendapat penghargaan langsung dari Kapolri dan Presiden. Media pun memberinya julukan sebagai Detektif Hartono. Padahal, di Indonesia tidak ada yang namanya detektif kecuali swasta. Biasanya detektif swasta itu disewa untuk menyelidiki kasus yang bersifat pribadi. Seperti perselingkuhan, mendapatkan informasi dari orang lain, dan sebagainya. Kalau di bawah naungan pemerintah, dalam hal ini Polri, sebutannya penyidik. Itu sih yang aku tahu. Pamor Pak Polisi ini menanjak tajam karena dia berhasil mengungkap kasus-kasus lama yang bertahun-tahun belum terpecahkan. Kasus baru saja berhasil dia pecahkan, apalagi kasus lama. Mungkin bukti dan saksinya sudah lengkap sehingga dia dengan mudah mengungkap kasus tersebut. Tak jarang juga dia diundang ke acara-acara televisi. Dengan lugas dan lancarnya dia menjawab pertanyaan pembawa acara ataupun menjelaskan apa yang memang harus dia jelaskan. Saking terkenalnya, di kampus pun nama Pak Polisi Hartono selalu disebut. Bahkan di media sosial banyak bertebaran fanpage tidak resmi pak polisi satu ini. Ketika kasus besar terjadi dan dia berhasil memecahkannya, seketika namanya langsung trending topic. Tetapi, aku tidak tertarik sama sekali dengan dia. Tapi bukan berarti aku acuh juga. Di satu sisi aku pun senang karena dengan otak jeniusnya, dia bisa menegakkan keadilan tanpa harus salah sasaran.
Di pelataran depan kampus, aku duduk di bangku umum sambil menonton sebuah podcast yang sedang mewawancarai Polisi Hartono ini. Aku pakai earphone supaya suaranya lebih jelas terdengar. Sebab menonton video di smartphone di ruangan terbuka tanpa earphone, adalah ide yang buruk. Rupanya dia sudah naik jabatan menjadi Kapolres di salah satu kota di Jawa Barat. Entah tugas Kapolres itu bisa jadi penyidik apa tidak, aku kurang paham hal-hal yang seperti itu. Oh iya, barusan aku bilang tidak tertarik dengan dia. Tetapi lama-lama, pembicaraannya ketika dia diwawancarai selalu seru. Jadi kadang aku ikuti perkembangan kasus yang sedang dia tangani sampai mana. Tidak hanya di televisi, bahkan youtuber podcast pun sering mengundang dia untuk menjadi narasumber. Mereka memanfaatkan kondisi untuk menambah jumlah tayangan atau viewers. Apalagi kasusnya sedang hangat diperbincangkan. Semakin berseliweranlah wajah Polisi Hartono yang cukup tua dengan rambut pendek, berkaca mata, wajah agak bulat dan mata sipit di beranda dan di tab trending video youtube.
“Serius banget kamu Ndri?” sahut Reza, teman satu kampusku sambil menepuk pundakku. Dia datang secara tiba-tiba lalu duduk di sampingku dan mata besarnya menatap layar ponsel.
“”Biasa hiburan,” balasku sambil melepaskan earphone di telinga dan mematikan ponsel.
Resa ini orangnya kurus tinggi, putih, dan rambutnya selalu rapi. Kalau berjalan, kakinya seperti berjinjit mirip orang yang sedang berjalan di atas tanah becek.
“Liburan semester ini kamu mau ke mana?” tanya Reza kemudian.
Aku menjawab, “Belum tahu.”
“Kita pergi nonton yuk?” ajak dia.
“Sekarang?”
“Tahun depan. Ya sekarang lah,” jawab dia dengan ketus.
“Aku mau pulang aja.”
“Padahal teman-teman yang lain mau ikut. Eh, ada Mirna juga loh.”
Seketika aku menengok ke wajahnya yang tersenyum menyebalkan.
“Bodo amat.”
Aku tahu Reza berbohong. Isu aku suka dengan Mirna memang sudah lama tersebar di hampir seluruh kampus. Padahal, saat itu aku hanya membantunya mengerjakan beberapa tugas kuliah. Setelah Resa pergi, aku bergegas pulang. Karena rumahku hanya berjarak tiga kilo meter dari kampus, aku bisa jalan kaki. Saat membuka pagar pintu, mobil papahku sudah terparkir di garasi. Aku langsung membuka pintu sambil mengucapkan salam. Dibalas salamku oleh adik perempuanku yang masih SMP.
“Kak, udah pulang?” sapa dia dengan senyuman yang manis.
“Tumben papah pulang,” ucapku sambil membuka sepatu dan meletakkannya di rak sepatu dekat pintu.
“Katanya izin pulang awal.”
“Ada apa?”
“Coba aja tanya sama ya.”
Aku berjalan ke ruang tamu dan mendapati papahku sedang makan. Kemeja kerjanya pun belum dia lepas. Badannya yang agak tambun membuat kemeja terlihat sedikit ketat.
“Andri, udah makan?” tanya papahku yang mulutnya masih mengunyah.
“Udah sih, pah,” jawabku.
“Makan lagi. Papah mau bicara sesuatu sama kamu,” sahut mamahku yang baru keluar dari dapur sambil membawa teko berisi air putih.
Aku simpan dulu tasku di kamarku di lantai dua. Setelah itu aku turun dan duduk di meja makan sambil makan berdua dengan papahku.
“Andri, liburan semester ini kamu mau liburan ke mana?” tanya papahku.
Aku yang sedang menyiduk nasi menjawab, “Enggak tahu, pah.”
“UAS kamu gimana?”
“Hari ini terakhir. Tapi nilai belum keluar.”
“Jadi besok udah mulai libur semester?”
Aku mengangguk.
“Gimana kalau kamu ke kampung nenekmu?”
“Papah bela-belain izin pualng dari kantor cuma mau tanya ini?” aku bertanya balik sambil menyuapkan makanan ke mulutku.
“Sebenarnya pengen pulang cepet aja. Lagian papah kan jarang banget izin pulang cepet,” timpal papahku.
Tiba-tiba adikku datang dan berkata, “Serli ikut dong.”
“Heh, kamu kan masih sekolah,” balasku.
“Begini,” sahut papahku, “Semenjak kakek dan nenekmu meninggal, rumah mereka diurus oleh orang kepercayaan papah. Anak mereka cuma papah satu-satunya. Mau papah jual, banyak kenangan di rumah itu. Tadinya papah minta sama kamu selama liburan tinggal di sana. Soal makan, nanti istrinya Mang Haris yang siapkan.”