Semua perbekalan sudah aku siapkan. Seperti baju-baju yang sudah aku masukkan semuanya ke dalam koper. Dan tas cangklong yang biasa aku pakai ke kampus aku isi roti dan minuman untuk bekal di perjalanan. Selepas salat subuh, semuanya sudah siap. Aku langsung menurunkan koper ke teras depan rumah. Di sana ada adikku yang sedang duduk di bangku teras.
“Melamun aja. Nanti kesambet loh,” kataku sambil meletakkan koper di teras.
“Serli mau ikut, Kak,” balas Serli dengan bibir cemberut.
“Mau gimana lagi. Sekolah kamu kan belum libur. Masih satu bulan lagi.”
Tiba-tiba mamahku keluar.
“Udah siap semua?” tanya mamahku.
“Udah mah.”
“Hati-hati di sana. Kalau ada apa-apa, telepon mamah ya?”
“Kamu hafal kan harus naik mobil apa aja?” tanya papahku.
“Hafal dong pah.”
“Papah udah suruh Mang Haris untuk standby di sana.”
Aku hanya mengangguk. Sejurus kemudian papahku keluar. Aku langsung pamitan kepada mamahku dan adikku. Walau adikku masih cemberut. Papahku hanya bisa mengantar sampai terminal Pulogadung. Sampai di sana aku cium tangannya dan aku turun. Aku susuri terminal ini sampai menemukan mobil bus jurusan ke kampung. Setelah naik, aku simpan koper di bagasi atas dan duduk di dekat jendela. Perjalananku cukup menyenangkan. Aku habiskan waktu memejamkan mata. Apalagi ketika memasuki jalan tol. Alunan lagu dangdut pantura menjadi hiburan di sepanjang perjalanan. Saat sudah keluar Jakarta dan masuk ke pedalaman, suasana berubah menjadi sejuk. Pepohonan masih menjulang tinggi yang membuat sinar matahari tidak silau lagi. Jalanan gelap karena bayangan dari pepohonan tinggi. Musik yang diputar pun berhenti. Yang terdengar hanya alunan suara mesin mobil yang sesekali meraung ketika melewati jalanan menanjak. Aku buka mataku untuk menikmati pepohonan yang di mana cahaya matahari menembus di sela-sela dedaunan.
Di sebuah pertigaan jalan, bus berhenti untuk menurunkan beberapa penumpang. Aku menengok ke kiri rupanya ada seorang bapak-bapak yang tertidur pulas bersama dengan anak perempuannya. Setelah para penumpang turun, bus kembali berjalan berbelok ke kanan yang jalanannya agak menanjak. Mesin kembali meraung tetapi bus jalannya pelan karena mungkin beban yang terlalu besar dan mesin yang sudah uzur. Setelah satu jam lebih, bus sampai di terminal kota. Kondektur seketika berteriak kalau bus sudah sampai di tujuan akhir sambil membangunkan beberapa penumpang yang tertidur. Bapak-bapak dan anak perempuannya yang duduk di sampingku pun bangun. Anak perempuannya yang berambut panjang sepunggung bergelinjang dan mengucek matanya. Sementara si bapak, melihat ke arahku sambil tersenyum dan mengangguk. Aku membalas anggukkannya. Kemudian semua penumpang turun.
Aku mampir sebentar ke sebuah warung yang ada di pinggiran terminal. Aku letakkan koperku di sampingku dan membetulkan tas cangklongku dan memesan minuman dingin. Sambil menunggu aku duduk dan membuka ponsel. Ada pesan dari mamahku menanyakan apa aku sudah sampai apa belum. Aku langsung membalas. Setelah selesai meminum minuman dingin dan tenggorokan terasa segar, aku langsung bergegas mencari angkot jurusan ke kampungku. Perjalanan memakan waktu setengah jam. Tepat ketika aku turun dari angkot depan gang, ada seorang lelaki paruh baya memakai topi, badan gempal, kumis tipis, mata menonjol dan pipi bulat datang menghampiriku. Dia tersenyum ramah.
“Eh, Andri udah datang?” sapa dia.
“Kok Akang tahu nama saya?” tanyaku.
“Iya atuh. Yang datang ke Patigelar pakai koper gede siapa lagi kalau bukan anaknya Kang Gofar sama Ceu Yuni. Orang asli sini mah kalau pulang dari luar negeri jadi TKI pasti dijemput sama keluarga.”
“Oh, jadi ini Mang Haris?” aku menunjuk.
“Pasti atuh,” balas Mang Haris dengan mengangguk, “Mari saya bawa kopernya,” tambahnya sambil memikul koperku di bahunya.
Kami lalu masuk ke gang yang jalanannya aga menurun. Di sisi kiri dan kanan masih ada pepohonan lebat. Ketika masuk beberapa meter, barulah rumah-rumah warga terlihat. Jalan utama di Patigelar ini sangat sepi dengan rumah-rumah warga. Tetapi ketika masuk ke dalam gang, maka akan ramai sekali rumah warga yang berdekatan. Suasananya tak banyak berubah ketika terakhir kali aku ke sini tiga tahun yang lalu.
“Udah berapa lama Andri enggak ke sini lagi?” tanya Mang Haris ketika kita sedang berjalan kaki.”