“Tari, ada apa?”
Seorang gadis dengan rambut yang dikuncir itu tidak henti melihat jam yang ada di tangannya. Berulang kali ia memandangi jarum jam yang berputar dengan gelisah. Satu menit lagi jam di tangannya akan menunjukkan pukul 21.00.
“Lima, empat, tiga, dua, satu.” Tari refleks berdiri dan sukses mengangetkan Mira, rekan kerjanya. “Jam dinasku sudah berakhir. Aku pulang duluan ya, Mir. Bye.”
Mentari Ananda adalah seorang analis kesehatan di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Sudah dua tahun ia menjalani profesinya sebagai seorang analis yang harus berkutat dengan laboratorium setiap harinya.
Hari ini, setelah jam dinas yang cukup panjang dan beberapa sample darah dari IGD yang harus diperiksanya. Akhirnya jam dinasnya berakhir juga.
Setengah berlari ia menuju parkiran yang berada di utara. Sebuah senyum terukir di wajah manisnya. Sesampainya ia di scoopy merahnya, tak lupa ia berkaca. Merapikan rambut dan seragam putih hijaunya.
Sabtu adalah hari yang selalu menjadi spesial bagi Tari. Bukan apa-apa, hanya sebuah rahasia kecil yang sudah bertahun-tahun dilakukannya secara sembunyi-sembunyi.
“Tari, tunggu!”
Tari menoleh ke sumber suara dan didapatinya Mira tengah berlari kecil dengan napas yang memburu.
“Aku nebeng, ya. Biar hemat biaya,” kata Mira sambil tersenyum.
“Tapi cuma sampai depan jalan raya, ya. Aku buru-buru soalnya.”
Mira mengangguk tanda setuju. Setelah memasang helm mereka masing-masing, scoopy merah itu perlahan meninggalkan lapangan parkir.
Malam itu sungguh sangat cerah. Sepertinya musim hujan sudah benar-benar pergi. Lampu jalan berpendar hampir di seluruh penjuru kota. Lampu warna-warni di gedung-gedung pencakar langit berkedip-kedip tanpa henti. Muda-mudi tampak mengisi beberapa cafe yang Tari dan Mira lewati. Malam Minggu menjadi lambang dimana para pekerja, pegawai kantor, bahkan mahasiswa dan anak sekolah melepas segala kepenatan setelah seminggu beraktivitas.
“Kenapa buru-buru sih, Tar?” Mira setengah teriak. Suara kendaraan dan deru angin yang berhembus membuat suaranya sedikit tenggelam.
Tari tak menjawab. Mata coklatnya yang bulat menyipit karena senyum. Mira dapat melihatnya lewat kaca spion.
“Ah, aku ingat. Hari ini Langit pulang, kan?” ucap Mira sambil menjentikkan jarinya.
Tari mengangguk dengan wajah bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan.
******
Sesampainya di rumah, Tari buru-buru menuju kamarnya, bahkan tidak sempat membuka kaus kaki yang masih menempel di kakinya. Ia dengan tergesa-gesa menuju jendela kamarnya yang menghadap persis ke rumah yang berada di depan rumahnya.
Sebuah brio hitam berhenti di depan rumah itu beberapa menit setelah Tari berdiri di samping jendelanya. Seraut wajah yang sangat ingin Tari lihat keluar dari mobil dengan menenteng tas di tangan kirinya. Itu… Langit.