“Ma, Tari lari pagi, ya.”
Tari mengikat tali sepatunya dengan kencang. Teriakan sang mama dari dapur hampir tidak terdengar.
Hari ini, Tari libur setelah enam hari shift tanpa henti. Bagi Tari, hari liburnya seringkali digunakannya untuk berolahraga, misalnya dengan lari pagi. Sambil berlari, sesekali Tari menutup matanya, merasakan udara segara mengisi rongga-rongga di dadanya.
Rumah Tari terletak di sebuah kompleks perumahan yang terkenal asri. Untungnya, di tengah pembangunan yang menggurita, kompleks perumahan ini tetap mempertahankan pohon-pohon pelindung di pinggir jalan dan tidak memangkasnya. Itulah sebabnya, udara di kompleks ini sangat menyegarkan di pagi hari. Tepat di tengah kompleks, ada sebuah taman yang sengaja dibangun agar para penghuni kompleks bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya di hari libur tanpa harus berakrab-akraban dengan kemacetan menuju ke tempat wisata lain.
Sesekali Tari berhenti sambil meregangkan otot-otonya. Sesekali ia menyapa orang-orang yang dilewatinya. Rupanya, Tari lupa kalau hari ini adalah tanggal merah. Pantas saja banyak penghuni kompleks yang menghabiskan pagi di sekitar taman.
Saat hendak memasuki taman itulah, Tari berpapasan dengan Langit tanpa sengaja. Tatapan mereka bertemu di udara untuk sepersekian detik lamanya. Tari bisa merasakan waktu di sekitarnya serasa berhenti seketika. Namun tidak bagi Langit. Langit tetap berlari, melewati Tari seakan gadis itu tidak berada di sana. Tanpa pernah menoleh sekali pun.
Sedangkan Tari, ia tetap terpaku di tempatnya. Memandangi punggung Langit yang berlari semakin menjauh. Entah bagaimana ia menggambarkan perasaannya.
“Langit,” ucapnya pelan. Lebih terdengar seperti bisikan.
*******
Langit tergesa-gesa memasuki rumahnya. Napasnya masih memburu, belum sempat kembali ke irama semula. Ia bergegas menuju kamarnya, melewati ibunya begitu saja. Ia dengar ibunya sedang bertanya, tapi ia tak tahu apa yang ditanyakan ibunya. Pikirannya tak berada di sana sekarang. Yang Langit butuhkan hanya sesegera mungkin berada di kamarnya.
Di kamarnya yang bernuansa industrial, Langit menuju jendela kamarnya. Memandangi rumah yang berada di seberang jalan sana. Berulangkali ia memegangi dadanya, merasakan debaran jantung yang makin menggila.
Lima menit berdiri di samping jendelanya, Langit tidak mendapati sosok yang dicarinya. Pada akhirnya, Langit merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil berusaha mengembalikan irama jantungnya seperti semula.