Langit malam tampak bak lukisan di atas sana. Sinaran dari lampu-lampu di kota membuat megahnya makin bertambah. Namun suhu udara terasa lebih panas dari biasanya. 34 derajat celcius. Sebuah rekor untuk malam terpanas di tahun ini.
Tari dan Mira baru saja menyelesaikan shift sorenya. Scoopy merah yang sudah dua tahun setia itu membawa mereka menyusuri kembali jalan raya yang tak pernah sepi. Sesekali mereka menengadah ke langit, memandang takjub bintang gemintang di atas sana. Sesekali menutup mata merasakan angin malam yang berhembus menggerakkan anak-anak rambut.
“Mir, kita minum kopi dulu yuk sebelum pulang,” ucap Tari pada Mira di tengah lalu lalang kendaraan.
“Apa? Kau bicara apa, Tar?” tanya Mira setengah teriak sambil mendekatkan telinganya ke punggung Tari.
“Minum kopi. Minum kopi,” balas Tari dengan volume suara yang lebih ditinggikan.
“Oh. Boleh. Boleh,” balas Mira dengan volume suara yang tak mau kalah.
Di depan fly over ada sebuah cafe yang cukup terkenal semasa mereka masih kuliah. Sebenarnya cafe ini tidak semewah cafe-cafe lainnya, bahkan tergolong sederhana. Namun yang membuatnya begitu melekat di hati pengunjungnya adalah harganya yang ramah tapi tetap tidak kalah dalam hal rasa. Cafedia, begitu namanya.
“Mau minum di sini atau dibawa pulang, Mbak?” tanya seorang pelayan yang menghampiri mereka.
“Bawa pulang saja. Dua ice americano,” jawab Tari.
Sambil menunggu pesanan mereka datang. Tari dan Mira tampak sedang menikmati pemandangan malam di luar sana lewat dinding kaca. Kota yang tak pernah sepi. Semakin malam, bahkan semakin menggeliat.
Tidak butuh lama sampai pelayan tadi kembali dengan membawa dua ice americano yang siap mereka bawa pulang. Mira dan Tari beranjak dari duduknya. Sesekali menyeruput ice americano-nya sambil tertawa-tawa kecil karena guyonan Mira.
Saat itulah, tanpa Tari sengaja ia menabrak seorang pemuda. “Ah, maaf. Maafkan saya. Saya tidak sengaja,” katanya sambil memunguti ponselnya yang ikut terjatuh.
Dengan tergesa-gesa Tari mencari tisu di tasnya. Ia masih belum melihat wajah yang ditabraknya.
Tari hendak menyerahkan tisu itu. Mengangkat wajah untuk bertatap muka dengan pemuda yang ditabraknya. Namun, lagi-lagi waktu serasa berhenti di sekitar Tari.
“La—ngit?” Wajah Tari terlihat tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Di depannya, Langit berdiri dengan kemeja putih yang sudah berubah menjadi cokelat akibat kopi yang ditumpahkan Tari. Di sebelahnya, seorang pemuda yang tampaknya berusia sama seperti Langit juga tengah terpaku menatap semua kekacauan ini. Ia tampak memperbaiki letak kacamatanya berkali-kali. Tapi Tari tak peduli dengan pemuda itu, yang ada di pikiran tari sekarang hanya Langit. Ya, Langit yang tengah berdiri di hadapannya.
“Maafkan aku,” ucap Tari setelah berhasil kembali dari keterkejutannya.