Tari dan Mira baru saja kembali dari kantin. Mereka masing-masing membeli sekotak nasi uduk dan sebotol air. Kemudian menuju atap gedung rumah sakit yang seringkali mereka datangi di waktu istirahat.
Di atap gedung berlantai delapan tersebut, pemandangan yang tak bisa ditemukan di sembarang tempat mereka dapatkan. Rumah sakit tempat mereka mengabdi berdekatan dengan laut, itu sebabnya pemandangan di saat sunset atau sunrise akan sangat menakjubkan. Namun sayangnya, karena jam dinas yang belum berakhir di waktu tersebut, mereka tak bisa menyaksikan matahari tenggelam. Jika sudah seperti itu, mereka akan menghabiskan jam makan malam di sini.
Dari jauh tampak kapal-kapal barang berdatangan. Terlihat sangat kecil di garis khatulistiwa sana, namun lampu-lampunya yang berkerlap-kerlip di kejauhan. Di sebelah selatan ada dua menara mercusuar yang berdiri berdekatan. Pemandangan yang dihasilkan dari perpaduan alam dan lampu-lampu tersebut menjadi hiburan tersendiri. Damai. Tenang. Dan tanpa gangguan.
Mira dan Tari selalu dibuat tercengang dengan lukisan malam tersebut, meskipun sudah tak dapat dihitung jari mereka kemari. Memandang takjub, tanpa sepatah kata pun.
Saat itulah, sebuah suara berdebam dari sisi kiri mereka terdengar. Tari dan Mira sontak berbalik ke sumber suara.
“Ya Tuhan,” seru Mira terkejut. Tari pun sama terkejutnya.
Di sana terlihat seorang wanita muda berbaju tosca sedang berdiri di tembok pembatas. Tatapannya kosong memandangi jalan raya di bawah sana. Sisa sejengkal jarak dari pijakannya hingga ke udara. Dan wanita itu dipastikan kehilangan nyawa jika terjun dari sana, kecuali keajaiban Tuhan bersamanya.
“Mbak, jangan bunuh diri,” bujuk Tari perlahan mendekat.
Wanita muda itu diam.
“Jangan, Mbak. Dosa. Tuhan akan murka,” tambah Mira.
Wanita muda itu masih terdiam.
“Mbak, kasihan orangtua Mbak. Keluarga. Kekasih dan teman-teman Mbak kalau Mbak bunuh diri,” bujuk Mira.
Wanita muda itu akhirnya memberi respon. Ia menoleh dengan tatapan putus asa ke arah Mira yang ada tepat di belakangnya. “Saya yatim piatu sejak kecil. Dan kecelakaan mobil kemarin merenggut anak dan suami saya. Lalu, untuk siapa lagi saya hidup di dunia?”
Wanita itu meneteskan air mata. Kehilangan jelas tergambar di wajahnya. Ia terlihat benar-benar kacau. Siapa pula yang akan baik-baik saja jika kehilangan orang yang disayangi? Tak ada.
Wanita itu kembali menyeret kakinya beberapa senti ke depan hingga jaraknya dan udara bebas di depan sana hanya satu kepalan. Tari berteriak panik, sesaat setelah ia mengirimkan pesan untuk meminta bantuan. Ponselnya terjatuh tanpa sengaja. Namun Mira tetap tenang, memikirkan kalimat yang bisa mengulur waktu wanita itu sampai bantuan datang.