Selepas aksi percobaan bunuh diri yang dilakukan salah seorang pasien tadi. Rumah sakit menjadi heboh dan sedikit kacau. Di setiap sudut rumah sakit, mulai dari dokter, perawat, analis, hingga office boy membicarakannya, termasuk membicarakan betapa tampannya sang penyelamat yang datang secara misterius itu.
Tari dan Mira berniat untuk kembali ke ruang laboratorium. Bagaimana pun, jam dinas mereka belum berakhir. Namun, Tari masih larut dalam pikirannya sendiri. Menimbang-nimbang semua kemungkinan kedatangan Langit di rumah sakit ini.
Apa benar dia datang untuk menemuiku?
Tari bertanya-tanya dalam hati. Wajahnya kembali memerah. Malu sendiri kemudian memukul Mira yang ada di sebelahnya. Mira tak mau kalah, balas memukul. Maka terjadilah aksi saling memukul untuk beberapa saat.
“Tar, bukannya itu Langit?” Mira menghentikan pikirannya kemudian mengarahkan jarinya ke dua orang pemuda yang berdiri tepat di depan ruang IGD.
Belum sempat Tari mengangguk mengiyakan. Pemuda yang berdiri di sebelah langit dengan jas putih dokternya dan stetoskop yang terkalung di lehernya menghampiri mereka.
“Ini Tari, kan?” tanya pemuda berwajah ramah itu.
Tari bingung, merasa tak pernah mengenal dokter ini. Tari melirik papan nama dokter itu, dr. Azril, begitulah nama yang tertera di sana. Tari mengingat-ingat kembali, rasanya tidak ada dokter dengan nama seperti itu yang dikenalnya.
Dokter itu tersenyum, ramah sekali. Hingga kedua matanya yang memang agak sipit berbentuk bulan sabit. “Apa kau lupa? Aku adalah saksi saat kau menyiram kemeja putih Langit dengan kopi.”
Tari mengingat-ingat kembali kejadian itu. Saat itu ia terlalu bahagia hingga tak menyadari kehadiran dokter Azril di sebelah Langit. “Oh ya?”
“Wah, benar-benar kebetulan, ya. Kita bertugas di rumah sakit yang sama.” Kemudian Azril mengulurkan tangannya. “Namaku Azril. Dokter intern di rumah sakit ini. Kurasa aku akan butuh banyak bantuanmu ke depannya. Ini hari pertamaku.”
Tari balas mengulurkan tangan. “Mentari.”
Kemudian Azril juga memperkenalkan dirinya ke Mira. Sedangkan Langit mencoba untuk tidak mengarahkan pandangannya ke arah mereka. Pura-pura sibuk dengan ponselnya, walau sesekali ia mengamati gerak-gerik Azril lewat ekor mata. Sungguh tak nyaman rasanya melihat gadis yang dikenalnya sejak kecil didekati oleh temannya sendiri. Ada sebuah rasa di dadanya yang tak mampu ia gambarkan dengan kata. Mungkinkah ia cemburu?
“Bagaimana kalau kita makan malam dulu,” tawar Azril pada Tari dan Mira. “Untuk merayakan pertemuan ini.”
“Maaf, kami sudah makan malam,” tolak Tari halus.
“Ayolah. Kau adalah temannya Langit, dan teman Langit adalah temanku juga. Aku yang akan traktir,” ajak Azril tak putus asa. “Minum kopi saja kalau begitu. Di kantin.”
“Tapi kami masih shift untuk beberapa jam ke depan.”